Ketika sebagian besar dari kita penasaran siapa pemenang pemilihan presiden, ada rasa penasaran lain bagi sekelompok kecil orang. Yaitu tentang angka partisipasi pemilih.
Tingkat partisipasi pemilih dihitung dari jumlah surat suara yang digunakan dibandingkan dengan daftar pemilih tetap (DPT). Dengan kata lain, semakin banyak pemilih datang dan memilih ke TPS maka angka partisipasi pemilih meningkat.
Penyelenggara pemilu dari level KPU pusat, KPU Propinsi, KPUD kota kabupaten hingga kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) tingkat desa memiliki kepentingan yang sama yaitu mendorong pemilik suara mendatangi TPS dan menggunakan hak pilihnya.
Target partisipasi pemilih yang disepakati KPU dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk pemilu tahun ini sebesar 77.5%. Meningkat sangat tajam dibanding angka partisipasi pilpres 2014 sebesar 69.5%. Padahal data dari tahun ke tahun pemilu justru menunjukkan tren penurunan.
KPU berupaya keras meningkatkan angka partisipasi pemilu lewat cara konvensional maupun non konvensional. Contohnya dibuat lomba selfie setelah pencoblosan. Hal ini mendorong pemilik suara untuk mendatangi TPS.
Cara lain seperti merekrut relawan-relawan sangat efektif mengedukasi pemilih untuk menghindarkan surat suara menjadi rusak. Relawan juga membantu memberi solusi administratif kepada calon pemilih yang terkendala.
Aturan pindah TPS diupayakan KPU hingga di detik terakhir. Tujuannya mengurangi kemungkinan jumlah pemilih yang terpaksa tidak bisa memilih karena tidak terdaftar di DPT, pindah tugas, atau mendadak rawat inap.
Langkah KPU paling penting adalah perbaikan DPT. Langkah ini sangat signifikan mengurangi persentase "golput". Jika ada satu juta nama fiktif di DPT, maka bisa menyumbang sekitar 0.5% angka "golput". Jika bisa mengeliminasi 10 juta nama fiktif, secara tak langsung sudah meningkatkan 5% partisipasi pemilih.
GOLPUT DAN "GOLPUT"
Selisih dari jumlah DPT dengan pengguna suara kerapkali disebut dan diklaim sebagai golongan putih (Golput). Jika angka partisipasi 70%, seolah yang 30% adalah golput.Â
Jumlah suara selain suara sah sebenarnya terdiri dari beberapa kategori yaitu,
1. Jumlah suara yang terpaksa TIDAK BISA memilih karena persoalan administratif.
2. Jumlah suara yang tidak digunakan karena TIDAK INGIN memilih.
3. Jumlah surat suara tidak sah tanpa disengaja.
4. Surat suara tidak sah karena sengaja dirusak.
Lebih tepat disebut sebagai golput adalah kategori nomer dua dan empat. Maka selain dari itu sebutlah sebagai "golput".
Mudah sekali mendapatkan data jumlah DPT serta jumlah suara pemilih yang sah. Namun tidak mudah melakukan breakdown data selain suara sah. Data quickcount maupun data resmi KPU tidak menyajikan berapa jumlah real golput dan berapa jumlah "golput".
Upaya meningkatkan pertisipasi pemilih sendiri mendapat tantangan dari kelompok masyarakat yang intens "berkampanye" untuk tidak memilih. Dan penyelenggara pemilu tak bisa berbuat banyak terhadap kelompok real golput.
Sebenarnya peran elit politiklah yang bisa mengeliminasi jumlah golput ideologis. Elit politik harus lebih meyakinkan bahwa memilih wakil rakyat dan presiden akan menentukan masa depan negara.
Sayangnya tak banyak elit yang peduli permasalahan golput. Jikapun ada, pernyataannya normatif atau bahkan cenderung kontroversial. Misalnya pernyataan yang justru mendiskreditkan golput atau pernyataan yang mewacanakan pendekatan hukum terhadap penganjur golput.Â
Pernyataan tersebut tidak mengubah pikiran para golput. Justru mengeraskan hati ketika ada pernyataan politisi yang mengecewakan.Â
Beruntung kontroversi itu ditutup oleh Prof Makhfud MD yang memberi pernyataan netral bahwa tidak memilih adalah hak dan tidak ada hukum yang dilanggar kecuali penghalangan orang memberikan suara.
KPU seperti bekerja sendirian untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan mengeliminasi "golput". Bagaimanapun kerja keras KPU pusat hingga KPUD di daerah akhirnya terbayarkan ketika angka partisipasi pemilih melebihi target yaitu diatas 80% (hasil quick count Litbang Kompas).
Akhirnya, Selamat buat KPU beserta jajarannya. Kerja keras kalian terbayarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H