Mohon tunggu...
Sri Handoko Sakti
Sri Handoko Sakti Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN STEI RAWAMANGUN JAKARTA

HOBY MUSIC, MEMBACA , HIKING

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fenomena Cawe cawe panggung politik Indonesia

30 November 2024   12:36 Diperbarui: 30 November 2024   12:36 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

4. Keterlibatan Oligarki dalam Politik

Dalam konteks yang lebih luas, fenomena cawe-cawe juga dapat dikaitkan dengan praktik politik yang melibatkan oligarki atau kelompok-kelompok dengan kekayaan dan kekuasaan yang sangat besar, yang ikut campur dalam proses politik untuk menjaga dan memperluas pengaruh mereka. Misalnya, kelompok bisnis besar atau tokoh pengusaha yang memiliki kedekatan dengan elit politik, yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik atau hasil Pemilu melalui jaringan politik dan kekayaan mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul isu mengenai keterlibatan para oligarki ini dalam mendukung calon-calon yang dianggap dapat melindungi atau memperkuat posisi mereka di sektor-sektor tertentu, seperti perizinan, sumber daya alam, atau infrastruktur.

Cawe-cawe dalam politik Indonesia sering kali mengacu pada intervensi atau campur tangan pihak-pihak tertentu (baik itu individu, kelompok, maupun lembaga) yang memiliki kepentingan politik dalam jalannya proses politik. Fenomena ini sering menimbulkan kontroversi karena dianggap dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya bebas dari pengaruh pihak luar. Baik dalam bentuk keterlibatan pemerintah, partai politik, maupun pengusaha atau militer, semua ini menciptakan dinamika politik yang tidak jarang memicu perdebatan tentang transparansi dan keadilan dalam proses politik Indonesia.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai Pilkada saat ini dan untuj selanjutnya di Indonesia adalah:

1. Dominasi Partai Politik dan Koalisi

  • Di Pilkada, partai politik masih memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan siapa yang akan maju sebagai calon kepala daerah. Banyak calon yang mencalonkan diri harus didukung oleh koalisi partai politik besar agar memiliki peluang menang. Koalisi ini seringkali dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang lebih besar, seperti pemilihan presiden atau pemilihan legislatif, sehingga terkadang muncul "cawe-cawe" dari pejabat pusat atau partai besar yang mencoba mempengaruhi hasil Pilkada.
  • Koalisi partai politik juga sering melibatkan perhitungan pragmatis terkait siapa yang akan menguntungkan mereka dalam hal pemerintahan daerah atau distribusi kekuasaan. Ini bisa mengarah pada ketidaknetralan dalam proses politik, di mana pilihan calon lebih didorong oleh kepentingan partai daripada aspirasi masyarakat.

2. Pemerintah Pusat dan Netralitas

  • Salah satu isu besar dalam Pilkada adalah bagaimana pemerintah pusat mengatur agar tidak terjadi "cawe-cawe" atau intervensi dalam pemilihan di tingkat daerah. Secara konstitusional, pemerintah pusat seharusnya netral, namun dalam praktiknya, pejabat tinggi negara dan partai politik sering terlibat dalam mendukung atau mengarahkan kandidat tertentu, baik secara terang-terangan maupun melalui "politik di belakang layar".
  • "Cawe-cawe" dalam hal ini sering terjadi dalam bentuk dukungan tak langsung, seperti alokasi anggaran daerah, distribusi proyek, atau pemanfaatan kekuasaan birokrasi untuk mempengaruhi hasil Pilkada. Pada beberapa kasus, pejabat pemerintah pusat atau partai besar bahkan dilaporkan terlibat dalam pencalonan kepala daerah yang mereka anggap bisa mendukung agenda politik mereka di tingkat nasional.

3. Politik Uang

  • Politik uang adalah salah satu masalah besar dalam Pilkada yang juga berkaitan dengan praktik "cawe-cawe". Di banyak daerah, pemilihan kepala daerah sering dipengaruhi oleh aliran dana besar yang digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu. Bantuan finansial yang disalurkan oleh partai politik atau pejabat yang memiliki kepentingan dapat memengaruhi perilaku pemilih dan mengarah pada korupsi serta ketidakadilan dalam proses pemilu.
  • Politik uang ini juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap Pilkada sebagai mekanisme demokrasi, karena orang-orang yang memilih kandidat bukan karena visi atau kinerja, melainkan karena imbalan finansial yang mereka terima.

4. Keterlibatan Masyarakat dan Media Sosial

  • Dalam Pilkada saat ini, media sosial memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Banyak kandidat menggunakan platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram untuk memengaruhi pemilih dan menyebarkan informasi tentang diri mereka. Beberapa calon kepala daerah bahkan menggunakan "influencer" untuk mendapatkan dukungan, yang semakin memperumit proses Pilkada dengan menambah elemen-elemen yang lebih berbasis pada kampanye digital daripada dialog politik yang substansial.
  • Selain itu, meskipun ada undang-undang yang mengatur soal netralitas aparatur sipil negara (ASN), di beberapa daerah masih ada laporan tentang mobilisasi suara ASN untuk mendukung kandidat tertentu, yang tentunya juga terkait dengan fenomena "cawe-cawe" dari pihak pemerintah daerah.

5. Pemilu Kepala Daerah Langsung

  • Salah satu hal yang membedakan Pilkada di Indonesia adalah sistem pemilihan langsung, di mana warga negara memiliki kesempatan untuk memilih secara langsung calon kepala daerah yang mereka inginkan. Meskipun sistem ini dirancang untuk meningkatkan partisipasi politik dan memperkuat demokrasi, namun di sisi lain, sistem ini juga meningkatkan potensi intervensi politik, baik dari pihak partai politik maupun pemerintah pusat, yang mencoba memanfaatkan posisi mereka untuk mendukung calon-calon yang sejalan dengan agenda politik mereka.
  • Pilkada langsung ini memberikan ruang bagi calon untuk berhubungan langsung dengan masyarakat, namun juga rentan terhadap praktek-praktek manipulasi yang bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendukung kandidat yang mereka anggap dapat memberikan keuntungan lebih.

6. Reformasi dan Tantangan ke Depan

  • Meskipun ada reformasi yang berusaha mengurangi dampak buruk "cawe-cawe", seperti peningkatan transparansi dalam proses pemilihan, pengawasan yang lebih ketat terhadap aliran dana kampanye, dan penguatan independensi penyelenggara pemilu, tantangan terbesar masih datang dari peran kuat partai politik dan intervensi pemerintah pusat yang sering kali mewarnai Pilkada.
  • Ke depannya, salah satu hal yang perlu diperkuat adalah pengawasan terhadap praktik politik uang dan campur tangan tidak sah dalam proses pemilihan, agar Pilkada bisa lebih mencerminkan keinginan rakyat dan berjalan dengan lebih adil serta transparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun