Apakah kamu pernah merasakan bagaimana sebuah lagu membuatmu masuk dan terseret kembali pada kenangan yang sama sekali tak pernah ingin kamu ingat?
Kini aku sedang merasakannya, lagu Love Wins All yang dinyanyikan oleh musisi korea IU terdengar begitu menyayat hati. Aku memang tidak mengerti secara utuh makna dan lirik dari lagu itu, tapi gabungan alunan melodi itu membuatku merasa terhenyak dan terhempas sejenak. Terlepas dari sebuah kenangan itu, sebelumnya aku tengah memikirkan apa yang terjadi padanya, pada seseorang yang melekat dan membersamaiku di kenangan itu.
Aku beberapa kali melihat cerita miliknya di WhatsApp, aku melihat ia mengunggah kembali momen dimana ia sedang berkemah saat ironi patah hati itu berlangsung. Mengapa aku mengetahui hal demikian? Karena saat itu, saat unggahan pertama kali itu dibuat, tepat sekali ketika ia tengah berkemah bersama teman-temannya, dan aku malah memutuskan untuk mengalihkan perasaanku pada orang lain.
Mungkin aku terlihat jahat disini, namun sungguh, aku tidak bisa melanjutkan hubungan tanpa arah bersamanya. Tentu sebelum aku memutuskan hal itu, bodohnya, aku meminta pendapat padanya jikalau aku tengah didekati seorang pria. Ya, tanggapannya hanya mengiyakan saja, menyuruhku untuk mencoba. Saat itu, aku sedikit menyesal karena menuruti tanpa tahu bagaimana ia hancur setelahnya. Sungguh egois aku kala itu. Di satu sisi, aku sungguh menyesal karena meninggalkannya, tetapi di sisi lain aku berhak untuk bahagia.
Setelah ironi itu terjadi, ia beberapa kali melakukan hal yang menurutku tidak masuk akal, seperti tiba-tiba di tengah malam ingin berkemah di tempat tinggi dan dingin. Padahal daerah tempat tinggalnya saja sudah tergolong tempat yang dingin, menurutku. Tetapi ia sungguh menyiksa dirinya sendiri. Dan sejak itu aku tahu kalau itu bentuk perlindungan dirinya saat hatinya sedang terluka.
Minggu ini, aku melihat unggahan itu lagi dengan keterangan kurang lebih seperti ini.
“Kayaknya enak sahur sambil kemah jam 3 pagi”
Pemikiran gila dan visual yang kembali membuatku teringat hal itu. Sebuah pertanyaan kemudain terbesit di kepalaku saat itu, “Sekarang ada apa lagi?”
Tadi, sebelum aku memulai tulisan ini, aku iseng mengecek atau stalking salah satu akun media sosial miliknya. Dugaanku benar, akun perempuan itu sudah tidak tertaut di bio miliknya. Sudah jelas bahwa ia tidak lagi memiliki hubungan dengan wanita itu. Lalu untuk beberapa saat aku terdiamdan bertanya, lantas aku harus bagaimana?
Sungguh tidak perlu melakukan apapun, karena sebenarnya aku sudah tidak begitu peduli lagi, namun semakin aku membiarkan pemikiran itu lewat, semakin kembali berbagai kenangan yang pernah dilalui bersamanya. Kali ini ada apa sebenarnya? Sungguh, perasaanku padanya sudah tidak bersisa lagi. Aku hanya menganggapnya teman, tidak lebih tidak kurang.
Semua hal yang aku inginkan sejujurnya sudah dicukupi oleh priaku sekarang, aku sungguh betul bahagia, jika ada kualifikasi calon suami, justru priaku kini lebih unggul. Memang secara fisik tidak begitu menarik banyak wanita diluaran sana, tetapi jika kamu tahu betul bagaimana ia memperlakukanku, aku namakan priaku sebagai pria idaman semua wanita. Namun kembali lagi, apakah secandu itu mencintai orang yang bahkan ketika bersamanya aku lebih banyak menangis sendirian dibanding bahagia sambil ditemani.
Aku pernah menangkap satu pemikiran dimana katanya, mau bagaimanapun seseorang menyakiti kita, atau bahkan sama sekali berbanding terbalik dengan kita, baik secara pemikiran ataupun latar belakang, bahwa dengan kekuatan cinta justru dapat merekatkan keduanya. Dan aku mempercayai itu, lantas berpikir bahwa dengan mengikuti alur sebagaimana adanya, mungkin ia pun akan berpikir juga mengenai arah dari hubungan ini.
Tetapi dengan segala rasionalitas yang ada, aku diajak untuk berpikir sekali lagi tentang kenyataan bahwa seumur hidup itu lama. Apalagi dengan orang yang salah. Salahnya, memang satu dari kami tidak mau berpikir untuk terbuka akan hal itu. Tidak ada sama sekali untuk berpikir bagaimana kami ingin menyatukan kebiasaan kami, bentuk rispek kami, dan sebagainya. Aku berpikir mungkin karena kesibukan masing-masing, dapat menutup segala kemungkinan untuk membuka diri kami. Bahkan ketika bertemu sekalipun, tidak pernah terbesit sama sekali untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan arah pikiran kami sendiri.
Aku mungkin lebih sering menebak, berekspektasi, dan walaupun ujungnya tidak sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Saat dulu di awal hubungan bersamanya, pernah terbesit satu pikiran bahwa ia akan membawaku ke hubungan yang lebih serius. Tetapi sampai hari ini, hal itu tidak pernah ada. Entahlah, aku merasa ia belum merasa cukup siap untuk memiliki hubungan yang serius dengan wanita. Mengingat trauma nya dahulu ketika ingin serius tetapi malah dikhianati wanita itu.
Sampai detik ini, aku hanya mampu berdoa, semoga ia sembuh atas traumanya, lantas dapat bertemu dengan wanita baik yang mampu menemani sampai akhir hidupnya. Kali ini, aku berdoa semoga ia baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H