Aku menatapmu lamat-lamat. Menunggu kalimat berikutnya.
“ Aku sedang dekat dengan perempuan lain.” Ucapmu tanpa mau menatapku yang tengah fokus mendengarkan. Hening membuat jeda selama beberapa menit, aku mendengar suara gemericik air dari kolam ikan di luar kafe. Dan mulutku masih tetap membisu, tidak bisa mengatakan apapun seolah otakku ikut membeku.
Aku tidak bisa memikirkan apapun, aku hanya menyadari ada sesuatu bergemuruh di dadaku. Mungkin wanita lain akan menangis mendengarnya, entah mengapa aku hanya diam. Masa hubungan tanpa status ini memang menyadarkanku untuk tidak berharap banyak, setelah aku memutuskan hubungan tujuh bulan lalu aku harusnya menutup hatiku. Terlebih untukmu yang datang sekenanya saja. Kenapa aku harus ikut hanyut pada permainanmu ini?
“Aku tahu dari awal, kita bersama karena kita sama-sama kesepian, kan? Makanya, aku harap kamu makan dengan baik, tidur dengan baik seperti biasanya, pastikan kamu mulai berbahagia dengan menemukan seseorang yang menicitaimu lebih dari dirimu sendiri. Aku minta maaf karena itu bukan aku, kau tahu sendiri tak mudah buatku untuk memberikan hatiku” ujarmu lalu meminum tegukan terakhir dari kopi favoritmu.
Jangan katakan itu kumohon, kau tau itu akan sangat menyakitkan bagiku. Itu yang ku katakan dalam hati sebelum bertemu denganmu. Dan ya, pada akhirnya kamu mengatakan itu sesuai dugaanku. Aku memang terlalu banyak berekspektasi, aku kira kamu akan mencintaiku, dengan berbagai sikap manismu saat bertukar pesan, saat saling berbagi video lucu, dan saat saling berinteraksi via live Instagram. Aku kira itu sudah cukup bagiku membuktikan bahwa kamu betul-betul mencintaiku lagi, bahwa hubungan ini mulai berkembang jauh lebih baik dari pacaran dahulu. Tetapi tidak demikian, dan justru sebaliknya.
“Aku ingin kamu jujur, Suf.” Kamu mengalihkan pandangan ketika aku mulai berbicara, “Apa aku pantas dicintai?”
Apakah kamu tidak tahu bahwa aku sangat mempercayai semua perkataanmu? Bagaimana setelah ini? Aku harus kesepian lagi? Aku harus bagaimana? Kamu berkata demikian, seolah aku tidak layak dicintai oleh siapapun. Sebegitu kesepiannya juga kah dirimu? Hanya memikirkan bagaimana hasratmu terpenuhi, tanpa memikiran bagaimana aku begitu mencintaimu. Aku yakin kamu pun mengetahui itu, tapi mengapa kamu tega seperti itu padaku?
“Hei, lagi mikir apa?” tanya pasanganku membuyarkan segala lamnunanku. Ia tersenyum manis sekali, hingga membuatku ikut tersenyum. “Makanan lagi dibuat katanya, sayang.” Pria di depanku ini, berhasil membuatku melupakanmu, melupakan segala perasaan itu. Tapi aku masih bertanya-tanya bagaimana kabarmu sekarang? Apakah kamu masih sering sakit kepala? Apakah kamu masih sering minum-minum? Apakah penyakitmu sering kambuh? Aku harap kamu baik-baik saja disana. Selamat tinggal. Senang mengenalmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H