Mataku mengawang lagi, mengalahkan awan-awan putih yang kebetulan tertimpa sinar matahari dari ufuk barat. Angin musim kemarau mengayunkan hamparan padi-padi di depannya membentuk ombak-ombak kuning keemasan. Berbeda dengan pemandangan itu, dadaku bergemuruh hebat seolah ada badai di dalamnya. Pikiran baik dan buruk melaju datang bergantian sedemikian cepatnya. Apakah benar ia sudah tidak mencintaiku lagi? Apa benar perasaan menggebu-gebu itu telah hilang di kala rasaku sudah berada di puncaknya? Ah, atau bisa jadi ia sedang bosan saja tapi tidak mau bilang.
        Sudah pukul setengah lima, ia bilang akan menemuiku di balkon kosan pukul empat. Menunggu setengah jam memang selama itu kah? Tak selang berapa saat setelah prasangka-prasangka buruk itu menghantui, suara motor matic khas miliknya menderu berhenti tepat di bawah. Tentu aku dengan kalutnya pikiranku tak akan mau menyambutnya, biar saja ia menghampiriku, ia pun pasti tahu tempat favoritku di kosan. Tepat dugaanku, derap langkah kaki yang sedang menaiki tangga terdengar semakin jelas di belakangku.
        Ia melempar sembarang tas selempang kecilnya di meja seraya menghempaskan badannya di sofa tepat sebelahku. Aku mendengar suara helaan nafasnya, benar-benar terdengar sangat menyebalkan.
        "Terlambat setengah jam, ngapain aja sih?" gerutuku begitu ketus tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.
        "Tadi di pom bensin ngantri panjang, jadi lama," balasnya datar tanpa tersulut amarah, "bisa ngga sih kita ngobrolin ini dengan kepala dingin?" tanyanya seolah menyudutkanku.
        Kali ini aku benar-benar menoleh, menatapnya dengan penuh kesal "kamu bilang apa waktu di chat? Aku yang beda? Ga mikir? Ngaca dong, kamu yang beda tau akhir-akhir ini!" aku mulai mengungkit permasalahan yang sempat tertunda.
        "Beda gimana maksud kamu?"
        "Sekarang kamu lebih dingin, ga kaya dulu waktu kita awal pacaran."
        "Emang mau kamu kayak gimana? Aku bener-bener lagi capek sama hidup, jangan nambah-nambahin beban hidupku, deh."
        "Oh? Jadi aku beban buat kamu? Sekarang gini deh, mana yang kata kamu akan selalu jadi orang pertama yang mau melindungi aku, mana yang katanya mau jadi orang yang selalu jadi orang pertama untukku, dan mana yang katanya mau jadi penuntun buat aku. Aku sekarang lagi kehilangan arah, tapi sesederhana ngasih kabar aja, masih harus aku tanyain." Suaraku mulai bergetar, mataku mulai panas dan air mulai menggenang di pelupuk mata.
        "Kamu haus banget perhatian ya? Oh gini ya rasanya pacaran sama anak yang kurang kasih sayang Ayahnya? Muak aku, bener-bener muak. Sana cari lelaki yang selalu ada buat kamu, aku pergi dan jangan pernah minta aku buat balik lagi." ujarnya seraya mengambil tas dan meninggalkanku penuh amarah.
        Seketika aku membeku di tempat, dadaku kian sesak, kalimat kurang kasih sayang Ayah adalah bagian paling menusuk dibanding kata perpisahan. Angin berkesiur semakin pelan, tetapi badai dalam diri semakin kencang. Lalu segera aku berlari ke kamar, sebelum orang lain melihat tangisanku.
        Dahulu aku berpikir bahwa ada atau tidaknya kehadiran Ayah tidak begitu berarti apapun terhadap hidupku. Aku masih bisa makan, masih bisa dibiayai sekolah oleh sanak famili lain, atau bahkan didikan itu sendiri sudah dipraktikan lewat kedisiplinan yang diajarkan bibiku dalam menghadapi kerasnya hidup. Peran Ayah benar-benar tidak ada pengaruhnya dalam hidupku.
        Benar, aku dibesarkan di keluarga yang mungkin bisa dibilang cukup asing dari hubungan darah. Hanya terbangun dan terjalin lewat tali persaudaraan dari keluarga ibuku. Orang tua kandungku? Mereka berpisah saat aku duduk di bangku taman kanak-kanak meninggalkan aku dan adik kandungku yang saat itu masih berusia enam bulan. Keluarga besar ibuku yang saat itu begitu membenci mereka berdua, memutuskan untuk tidak membawa anak-anaknya pergi diantara keduanya. Jadilah, aku tinggal dengan bibiku sampai di usia dua puluh satu tahun ini sampai dengan gelar strata satu, begitu membanggakan bibiku sebagai alasan agar kedua orang tuaku malu.
        Dalam perjalanan  hidup sampai di usiaku ini, banyak hal yang dapat membuatku sadar akan siapa diriku. Fase remaja adalah fase berat yang mengharuskan aku mengerti dan menerima. Bibiku memang sedari kecil selalu menceritakan alasan orang tuaku berpisah, sikap dan perilaku mereka yang membuat bibiku benci, sehingga aku begitu terbiasa dengan mudahnya menceritakan itu kepada teman yang mau mengenalku.
        Semua latar belakang ceritaku itu, benar-benar tidak membuatku sadar dampak ketidakhadiran Ayah sampai aku menjalin hubungan dengan lawan jenis. Mungkin satu atau dua hubungan tidak begitu terasa, tiga empat baru aku tersadar. Dampaknya begitu besar sampai seperti ketergantungan akan kasih sayang laki-laki dan begitu mudahnya memutuskan hubungan tanpa berpikir panjang.
        Ternyata aku sudah patah hati sejak kecil, kata mereka Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Cinta pertama itu justru yang mematahkan hatiku sedemikian hebatnya, sampai aku tak berani mendefinisikan cinta. Bagiku, Ayah yang kutahu hanya seorang penipu mahir yang memperdaya ibuku. Bayangkan saja, ia mendekati ibuku ketika dirinya sudah berperan sebagai Ayah bagi anaknya yang lain. Memang betul pernikahan dengan istri pertamanya itu belum tercatat dalam dokumen negara, sehingga ia berani menikahi ibuku dan menjadikan pernikahan itu sah secara hukum dan agama. Tetapi tetap saja, itu tidak adil bukan?
        Pernikahan yang sudah terjadi itu disebabkan karena kehadiranku di dalam perut ibu. Sebagian keluarga besar ibuku sudah menentang keras pernikahan itu, menyuruh menggugurkan janin di perutnya. Sebagian lainnya menentang, mengatakan bahwa bayi itu suci bersih dan yang kotor hanyalah kedua orang tuanya. Sebetulnya, ketika mengetahui kebenaran itu aku sangat terluka. Aku adalah si anak yang tak diinginkan, anak yang hina, anak yang kotor. Bahkan awal kehadiranku di dunia saja sudah ditentang, lantas bagaimana aku harus menjalani hidup?
Pernah sampai di tahap aku berpikir, kenapa ayahku begitu tega mempermainkan ibuku dan bahkan hari ini secara tidak langsung mempermainkan kehidupan percintaanku? Apa ayahku tidak memikirkan tanggung jawab yang semestinya dipikul? Sungguh, bagaimana aku meminta pada Tuhan agar mau memafkanmu, Ayah? Sebagian hidupku dan adikku, telah hancur, benar-benar hancur hingga menyisakan banyak kepingan berserakan dimana-mana. Semua laki-laki yang berani mengambil peran atas hidupku, tak ada yang mampu menyatukannya lagi kembali menjadi utuh. Mereka menyerah. Di atas itu semua, bagaimana caramu memperbaikinya, Ayah?
Mungkin sebagian berpikir dampak yang ditimbulkan padaku tidak masuk akal, malah dapat menebarkan luka dan menimbulkan sakit, pada orang lain, pada lelaki yang berhubungan denganku. Aku bertahan karena alasanku sederhana, aku hanya ingin merasa dilindungi, diayomi, dituntun agar tidak kehilangan arah. Namun balasan yang kudapat adalah mereka yang menginginkanku secara fisik, persis seperti mengingatku pada luka pertama yang tak kunjung sembuh.
Persepsiku terhadap ayah tidak pernah sesederhana itu, tak sesederhana keluarga cemara yang begitu segan terhadap kuasa ayah di keluarganya, sangat dijunjung dan dihormati. Aku tak pernah tahu apa yang harus aku persepsikan tentangnya, tak pernah aku rasakan peluknya dan menetertawakan lelucon miliknya. Semua yang kudapat darinya hanyalah luka. Aku pernah membencinya, tapi sampai hari ini aku belum mampu memaafkannya. Terlalu banyak hal yang tak pantas diperbaiki dengan kata maaf. Dan ada satu fakta yang perlu diketahui, tanganku gemetar ketika menulis ini, gigiku terus mengigit bibir bawah menahan agar air di mata tak tumpah sembarangan.
        Kini, aku tumbuh dengan tulang yang tidak sempurna. Aku mendongak, bulan dan bintang sedang menatapku nanar diatas sana, membiarkanku terbiasa menelan kesunyian dengan raga yang letih. Berusaha mengimbangi kehidupan agar selaras dengan orang lain pada umumnya.
Aku tak pernah sepenuhnya sembuh dari luka, Ayah.
BIODATA SINGKAT
SRI FATMAWATI, lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2022. Merangkap pekerjaan sebagai guru honorer di madrasah setara dengan sekolah menengah atas. Ketertarikan dalam kepenulisan cerita fiksi sudah terlihat sejak sekolah menengah. Sangat menyukai musik, alam, kucing, dan langit cerah berwarna biru. Lebih sering menyapa kucing di jalanan dibanding manusia.
Bercita-cita menerbitkan berbagai macam buku baik fiksi maupun nonfiksi. Adapun sedikit puisi yang dapat dilihat di akun instagram @sri.fatma01
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H