Lagi-lagi, emak-emak harus disibukkan dengan urusan tentang "persekolahan" putra putri mereka. Urusan tentang perpisahan, purnawiyata, atau "wisuda" baru saja usai, kini mereka harus dihadapkan dengan urusan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).
Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa penerimaan peserta didik baru saat ini menggunakan beberapa jalur, yaitu jalur afirmasi, jalur perpindahan tugas, jalur prestasi hasil lomba, jalur prestasi akademis dan jalur zonasi. Peserta didik yang bisa mendaftar menggunakan jalur Afirmasi adalah mereka yang menerima program penanganan dari Pemerintah Pusat ataupun Daerah. Umumnya, CPDB (Calon Peserta Didik Baru) memiliki bukti seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu perlindungan Sosial (KPS), Program Keluarga Harapan (PKH) atau Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Jalur PPDB perpindahan tugas orang tua/wali yakni jalur yang disediakan bagi Calon Peserta Didik yang mengikuti perpindahan tugas orang tua/wali yang dibuktikan dengan surat penugasan orang tua/wali. Jalur Prestasi Hasil Lomba diperuntukkan bagi calon peserta didik jenjang SMA/SMK yang terdiri dari hasil lomba bidang akademik dan lomba bidang non akademik secara berjenjang atau tidak berjenjang yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah atau Swasta di tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Provinsi, dan tingkat Nasional.Â
Jalur Prestasi Nilai Akademik SMA diperuntukkan bagi calon peserta didik baru jenjang SMA/SMK yang sistem penilaiannya merupakan gabungan rerata nilai rapor SMP/sederajat semester 1 sampai dengan semester 5, nilai akreditasi sekolah asal, dan indeks sekolah SMP/sederajat asal peserta didik tersebut. Sedangkan Jalur sistem zonasi merupakan jalur penerimaan siswa berdasarkan zona tempat tinggal. Ditambah lagi, untuk wilayah Jakarta ditetapkan jalur zonasi ditambah dengan prioritas usia. Semakin tinggi usia calon peserta didik, semakin besar kesempatan untuk bisa masuk sekolah.
Tiap jalur telah memiliki persentase yang telah ditetapkan dan persentase yang paling besar adalah dari jalur "zonasi".
Tujuan sistem zonasi di sekolah adalah menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Disamping itu sisten zonasi juga bertujuan untuk menghapus image sekolah favorit bagi satu lembaga pendidikan tertentu.
Akan tetapi, dalam prakteknya, ternyata sistem ini menuai pro dan kontra dari beberapa kalangan. Banyak orang tua yang sambat (mengeluh) dengan adanya sistem zonasi ini. Bagi beberapa orang yang kebetulan tempat tinggalnya dekat dengan lokasi sekolah tidak ada masalah. Tapi, bagi orang yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi sekolah, merasakan bahwa "sistem zonasi" ini benar-benar jauh dari kata "berkeadilan".
Saya ambil contoh adalah tempat tinggal saya sendiri. Saya tinggal di suatu desa yang jauh dari lokasi sekolah setingkat menengah atas. Lokasi terdekat berjarak kurang lebih 10 km. Nah, dari sini jelas sekali bahwa tidak mungkin kita daftar sekolah menggunakan sistem zonasi.
Karena alasan ini, maka banyak sekali orang tua yang menggunakan berbagai cara agar putra putrinya bisa lolos masuk sekolah yang diinginkan menggunakan jalur zonasi. Cara yang ditempuh antara lain dengan memindahkan domisili putra putri mereka ke tempat yang dekat dengan lokasi sekolah yang sekiranya bisa masuk menggunakan jalur zonasi. Dan, memindahkan dengan cara "menitipkan" putra putri ke KK (Kartu Keluarga) milik orang lain bukanlah hal yang mudah. Hal ini ditempuh karena mereka merasa kesulitan atau sudah pesimis menggunakan jalur yang lain.
Kebijakan pemerintah menerapkan adanya jalur zonasi menurut hemat saya justru bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemerdekaan belajar. Peserta didik tentu sudah memiliki alasan tertentu mengapa mereka memilih sekolah A atau B. Dan hal itu tidak melulu karena sekolah A atau B tersebut lebih bermutu (dalam hal akademis) dibanding dengan sekolah C atau D.
Bisa jadi, peserta didik memiliki alasan lain memilih sekolah tertentu, seperti misalnya sekolah tersebut memiliki kegiatan ekstra kurikuler yang variatif sehingga kesempatan pengembangan dirinya lebih besar, basic keagamaannya lebih kental, biayanya lebih terjangkau dan lain-lain.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya orang tua rela mencari alternatif sekolah (sebagai jaga-jaga apabila tidak diterima disekolah yang diinginkan) dan rela mengeluarkan uang pangkal dengan tujuan agar putra putrinya tetap bisa melanjutkan sekolah (meskipun bukan sekolah yang diimpikan) dan apabila ternyata bisa diterima disekolah yang diinginkan, merekapun rela kehilangan uang pangkal yang telah dibayarkan sebelumnya.
Dan semoga, kedepan, akan ada kebijakan baru yang tidak merugikan fihak manapun dan semua calon peserta didik bisa mendapatkan pendidikan yang merata seperti yang diharapkan.
Blitar, 2 Juli 2023
Sumber gambar: siedoo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H