Mohon tunggu...
SRI AULIA DHARMAYANTI
SRI AULIA DHARMAYANTI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya menyukai hobi memasak dan bermain sepak bola. Saya sangat mencintai kucing-kucing dan sering menikmati waktu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konflik Laut China Selatan: Ancaman Tenggelamnya Kedaulatan Indonesia

13 Mei 2024   21:46 Diperbarui: 13 Mei 2024   21:47 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laut China Selatan Tampak Dari Angkasa (Sumber: Internasional Media_Reuters Team)

Laut China Selatan adalah laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km2. Karena letaknya yang strategis akan tempat lalu-lalang perlintasan laut, di mana sebagian besar logistik dunia dikelola, salah satu aspek inilah yang menjadi acuan perebutan wilayah dari para negara sekeliling LCS. Bayangkan saja, Laut China Selatan nyatanya adalah jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.

Dikutip dari CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan LCS pada 2016 saja mencapai US$3,37 triliun. Selain itu, Laut China Selatan memiliki cadangan minyak bumi sebesar 1,2 km3 (7,7 miliar barel) dengan perkiraan total 4,5 km3 (28 miliar barel). Sedangkan cadangan gas alamnya sekitar 7.500 km3 (266 triliun kaki kubik). Ditambah laporan dari U.S. Energy Information Administration tahun 2013 menaikkan perkiraan total cadangan minyak menjadi 11 miliar barel.

Menambah nilai unggul bahan perebutan wilayah, Laut China Selatan juga memiliki 250 pulau, atol, kay, gosong pasir, dan terumbu. Meski sebagian besar pulau tidak berpenghuni bahkan ada pula yang tenggelam, keragaman biota laut yang memenuhi pedalaman perairan di wilayah LCS menjadi daya tarik tertinggi di antara pulau-pulau yang berkeliling pada daerah kemaritiman ini. Berdasarkan kajian Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, badan air ini memiliki sepertiga keragaman hayati laut dunia. Karena itu, LCS sebagai daerah paling berpotensi untuk ekosistem laut terus menghidup dan tumbuh sehat. Meski kenyataan pahit akan penangkapan liar di kawasan ini tetap menjadi isu paling ironis di tengah pengembangan budidaya kemaritiman yang terverifikasi indah di mata dunia tersebut.

Kilas Balik Konflik di Laut China Selatan

Tahun 1947, semua bermula ketika China memproduksi peta LCS (Laut China Selatan) dengan sembilan garis putus-putus dan menyatakan wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut (termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel) sebagai wilayah teritorinya. Peta ini kemudian ditegaskan kembali pada saat Partai Komunis berkuasa di tahun 1953. Klaim selanjutnya berdasarkan sejarah China kuno, mulai dari masa kekuasaan Dinasti Han di abad ke- 2 SM sampai dengan Dinasti Ming dan Dinasti Qing abad ke- 13 SM. Aspek historis dan penemuan-penemuan itu dijadikan alasan China untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan Laut China Selatan.

Yang menjadikan konflik kian terasa transparan, sebab China tidak ragu meletakkan kapal-kapal perangnya di wilayah perairan tersebut. Ini juga ditopang kuat oleh fasilitas militer beserta pulau buatan yang seakan siap tempur jika saja ada pihak-pihak yang coba menentang kepemimpinan wilayah mereka.

Pulau Buatan yang Menjadi Pertahanan Militer China di Laut China Selatan (Sumber: Fitri Wulandari dan Hendra Gunawan/Tribunnews)
Pulau Buatan yang Menjadi Pertahanan Militer China di Laut China Selatan (Sumber: Fitri Wulandari dan Hendra Gunawan/Tribunnews)

Tidak mudah ditakut-takuti, sederet negara tetangga termasuk Indonesia enggan menerima begitu saja akan keputusan China yang meraup delapan puluh hingga sembilan puluh persen wilayah di Laut China Selatan. Berbondong pula tumpang tindih klaim atas wilayah terprakasai.

Sebut saja Malaysia, yang mengklaim sebagian kepulauan Spratly yang tak jarang memicu insiden konfrontasi dengan China. Brunei Darussalam sendiri mengklaim sebagian kecil Kepulauan Spratly. Meski minim dan terbatas, keberadaan mereka di wilayah perairan LCS tentu tetap menjadi dinamika kompleks. Begitu pun klaim dari Vietnam atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel yang bahkan sudah membariskan posisi pasukan militer di beberapa bagian pulau tersebut. Tak jauh-jauh dari para negara tetangganya yang mengklaim wilayah Kepulauan Spratly, Filipina juga demikian. Lebih berani dan agresif, Filipina bahkan telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag. Filipina berusaha keras memperjuangkan hak-haknya atas wilayah ini melalui jalur hukum internasional tersebut. Yang menjadi sorotan pada gugatannya adalah kompleksitas geopolitik dan ketegangan di Laut China Selatan. Taiwan yang notabennya juga kawan dari China tidak dengan mudah menyerah atas klaim wilayahnya. Ambisi terhadap Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, Taiwan bahkan telah menempatkan jajaran pasukan militernya di beberapa area pulau tersebut.

Peta Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel (Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan)
Peta Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel (Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan)

Sementara semua sibuk atas konflik klaim Kepulauan Spratly maupun Kepulauan Paracel, negara Indonesia sendiri memiliki konflik yang berbeda dengan China sejak lama. Masalahnya bersangkutan dengan Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Semua bermula, ketika peta yang dibuat China pada tahun 1947 yang meliputi Pulau Harian sampai ke Teluk Kalimantan tidak sesuai Landasan Kontinen dan ZEE Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Intinya, konflik NKRI-RRT berpusat pada klaim atas kekuasaan Natuna yang termasuk kawasan ZEE Indonesia. Bagi pihak China, Laut Natuna begitu penting karena berperan sebagai jalur pelayaran penghubung komunikasi Utara-Selatan maupun Timur-Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun