Tahun baru, semangat baru, dan aturan baru. Tahun 2018, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) punya pimpinan baru. Budi -Buwas- Waseso yang sebelumnya menjabat sebagai kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), ditunjuk menjadi Dirut Bulog. Awalnya polisi yang mengurusi narkoba, Buwas diserahi tanggung jawab mengurus perut rakyat.
Di masa awal jabatannya, Buwas memulai dengan kontroversi menolak importasi. Padahal keputusan itu sudah disepakati bersama antara Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Dirut Bulog sebelumnya.
Belakangan, polemik penolakan oleh Buwas itu berbalik sendiri. Ia malah meminta Kemendag untuk memperpanjang ijin impor beras. Padahal sebelumnya, Buwas pernah menyebut Dirut Bulog pendahulunya sebagai pengkhianat bangsa karena mengajukan impor beras.
Polemik impor beras itu seolah menyita perhatian Bulog, sehingga abai dengan tugas utamanya. Yakni menyerap beras petani sebanyak-banyaknya, lalu menjaga stok pangan kita, atau menggelar operasi pasar untuk menjamin stabilitas harga.
Akibatnya, harga beras di tingkat konsumen sempat bergejolak. Selain itu, petani juga mengeluhkan kemampuan Bulog menyerap produksi mereka. Ada berbagai macam alasan yang terlontar dari Bulog. Salah satunya adalah harga pembelian pemerintah (HPP) yang membuat Bulog tidak leluasa.
Alasan itu, tidak akan menemukan pijakannya lagi tahun depan. Karena per 1 Januari 2019 nanti, akan berlaku Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 5 Tahun 2018 tentang pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk stabilisasi harga.
Kebijakan baru yang memungkinkan Bulog untuk menyerap beras lebih banyak tanpa meningkatkan anggaran itu rencananya akan mulai berlaku pada tahun depan. Misalnya, Bulog yang membeli stok CBP seharga Rp 10 ribu per kilogram tetapi menjual pasokan beras itu ke pasar seharga Rp 8 ribu per kilogram. Maka selisih harga Rp 2 ribu itulah yang akan dibayarkan pemerintah, bukan mengganti pengadaan sebesar Rp 10 ribu.
Dalam pasal 4 aturan itu, Menteri Keuangan akan mengalokasikan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar penggantian dana CBP kepada Bulog atas penggunaan persediaan beras sesuai arah penggunaan CBP. Pembayaran selisih tercantum dalam kompensasi penugasan mengacu tingkat kewajaran.
Kewajaran itu sendiri berdasarkan hasil pemeriksaan (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai pembanding. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur teknis pembiayaan juga bakal disusulkan sebelum akhir tahun ini.Â
Kajian mekanisme baru pengadan CBP telah melalui pembahasan sejak Maret lalu. Sebab, dana sebesar Rp 2,5 triliun hanya mampu memenuhi pengadaan CBP sebanyak 260 ribu ton, padahal target serap Bulog harus mencapai 1,5 juta ton.
Dengan skema baru itu, maka anggaran serta kualitas beras Bulog bakal terjaga karena stok beras yang ada di gudang terus berputar. Bulog pun hanya boleh memiliki stok CBP di gudang paling lama dalam jangka waktu 4 bulan.
Pengelolaan CBP melalui mekanisme baru ini bisa membuat Bulog melakukan penyerapan beras dalam negeri lebih baik. Sebab, Bulog harus memiliki CBP yang tersimpan dalam gudang sebanyak 1,5 juta ton.Â
Kebijakan terbaru dinilai bisa memastikan Bulog bisa melepaskan pasokan di gudang sambil dalam jumlah yang aman sehingga stok CBP tetap terjaga kualitas dan kuantitasnya. Arus kas keuangan Bulog juga diharapkan bisa semakin terjaga dengan perputaran bisnis yang cepat. Hal-hal inilah yang seharusnya menjadi concern utama Bulog, yakni menjamin pasokan serta harga. Bukan ikut-ikutan berpolemik mengubah kebijakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H