Indonesia punya seorang ekonom unik. Ia terkenal dengan 'Kepret'annya. Bila ia merasa ada yang tidak benar, akan 'dikepret' sampai benar.
Ia muncul bak tokoh pembela kebenaran. Bahkan ketika jadi menteri, ia dianggap sebagai terobosan.
Tapi belakangan, ia dipecat oleh atasannya. Karena kepretannya itu ternyata tidak benar. Sekarang , bermodal ketenaran, ia pun makin sering berkoar sana-sini. Gayanya yang rajin mengritik pemerintah, membuatnya tidak seperti ahli. Malah ia makin mirip barisan sakit hati.
Gelar doktor dan segudang pengalamannya pun kini terkesan jadi omong kosong semata. Publik mestinya jadi paham, alasan mengapa si Kepret diberhentikan dari jabatannya sebagai Menteri.
Lulusan kemarin sore dari fakultas ekonomi juga bisa tahu bahwa kebijakan impor beras memang harus dilakukan di saat pasokan dalam negeri tidak cukup. Lagi pula, sejak jaman dulu negara kita memang selalu impor beras. Fakta itu bisa dicek di internet, atau kalau mau, pergi saja ke kantor Badan Pusat Statistik (BPS).
Contohnya, tahun 2013-2014 kita sudah impor 2,5 juta ton beras. Berikutnya, di tahun 2015-2016, kita impor lagi sebanyak 1,5 juta ton. Dan sejak November 2017 sampai Maret 2018, stok beras dalam negeri terus berkurang.
Kita semua tahu pasti bahwa si mantan Menteri punya latar belakang pengetahuan ekonomi. Anehnya, pengetahuan yang ia miliki seolah tidak digunakan untuk menganalisis data yang gamblang seperti itu.
Sebagai mantan menteri, ia juga harusnya tahu persis bahwa keputusan untuk impor harus dihadiri oleh Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Direktur Utama Badan Urusan Logistik. Semua keputusan, harus disetujui Bersama.
Tudingan sang mantan Menteri ini malah membuat saya curiga, bahwa ia tidak bekerja benar ketika memangku jabatan pembantu presiden. Karena pernyataannya, seolah menunjukkan bahwa keputusan impor adalah diskresi seorang Menteri perdagangan sendiri. Padahal kenyataannya, ada prosedur berlapis di balik itu.
Lucunya lagi, kepretan si mantan menteri hanya terjadi di komoditas beras. Giliran jagung yang mau diimpor, si tukang kepret entah dimana gerangannya. Tidak ada kritik, tidak ada omongan nyinyir.
Entah karena ia berkawan dengan Menteri Pertanian yang mengajukan impor jagung. Atau memang ia sudah lelah ngepret. Tanyakan saja jawabnya pada rumput yang bergoyang.
Sumber informasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H