Menteri Pertanian Amran Sulaiman pernah mengklaim bahwa jagung adalah salah satu komoditas pertanian Indonesia yang mengalami surplus di tahun 2018. Data dari Kementan menyebutkan bahwa produksi jagung mencapai 30.43 juta ton dengan konsumsi 15.56 juta ton.Â
Logikanya, Indonesia memiliki surplus jagung sebesar 14.87 juta ton. Hukum supply, demand, dan harga, tentu saja berlaku di sini. Persediaan jagung tinggi, permintaan tetap, harga pun turun.
Tetapi, yang terjadi adalah teriakan peternak tentang harga jagung yang mahal. Lihat saja contohnya di Blitar. Sempat terjadi unras oleh peternak ayam.Â
Mereka menuntut pemerintah menurunkan harga jagung untuk pakan ternak. Berdasarkan  Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, harga acuan jagung adalah Rp 4000/kg. Kenyataan di lapangan, harga jagung mencapai Rp 5380/kg. Ini masih harga jual petani. Harga jual eceran di pedagang sendiri mencapai Rp 6320/kg.
Mentan Amran mengakui Ihwal kelangkaan pasokan jagung dan tingginya harga untuk pakan ternak. Beliau menyatakan bahwa kelangkaan adalah permasalahan distribusi dan permasalahan telah teratasi. Tapi, harga jagung seharusnya tidak menjadi masalah melihat surplus jagung yang sangat besar.
Kementerian Pertanian bertugas mengurus masalah pertanian dari hulu ke hilir, tidak hanya hulu produksi yang seharusnya menjadi fokus Mentan. Selama ini, klaim surplus komoditas pertanian lebih banyak memenuhi rapor wangi dari kinerja Kementan. Apakah surplus ini sampai dengan efektif dan efisien ke tangan konsumen? Tidak. Kenaikan harga jagung seharusnya telah menjadi jawaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H