Budaya erat kaitannya dengan kelangsungan hidup. Hal ini dikarenakan budaya dapat dikatakan sebagai cara pandang individu maupun kelompok dalam memaknai suatu hal. Budaya juga dapat dimaknai sebagai identitas.
Menurut Samovar (2017:213) identitas itu merupakan suatu konsep abstrak yang berperan penting dalam interaksi komunikatif sehari-hari terutama dalam komunikasi antar budaya. Maka, budaya dapat dijadikan sebagai penanda maupun pembeda dengan individu atau kelompok lain.
Hall (dalam Samovar, 2017:216) mengkategorikan identitas menjadi tiga yaitu identitas Identitas Pribadi, Identitas Relasional, dan Identitas Komunal. Identitas Pribadi yaitu hal yang membuat individu itu unik dan berbeda dari orang lain.
Identitas Relasional merupakan produk dari hubungan individu dan orang lain seperti guru-siswa, suami-istri, dan lain sebagainya. Sedangkan, Identitas Komunal adalah identitas yang terkait dengan komunitas skala besar seperti kebangsaan, etnis, jenis kelamin, afiliasi agama atau politik. Â
Seiring berkembangnya zaman, ditandai dengan adanya globalisasi, menimbulkan dampak baik terhadap teknologi. Dengan adanya kemajuan teknologi, informasi akan lebih cepat kita terima baik dari luar daerah maupun dalam daerah serta kita dapat berkomunikasi tanpa adanya batasan ruang dan waktu. Hal ini dapat berpengaruh terhadap budaya kita seperti teknologi dapat mengembangkan budaya ataupun memudarkan identitas budaya kita. Semuanya tergantung pada diri kita sendiri dalam menggunakan tekonlogi maupun memaknai informasi dari teknologi tersebut.
Banyak cara dalam melestarikan kebudayaan. Salah satunya adalah dengan mengenal, mempelajari, serta mempraktekkan produk budaya yang kita punya seperti tarian, bahasa daerah, pakaian, dan masih banyak lagi.Â
Untuk memahami lebih lanjut tentang pengenalan identitas budaya, hal ini akan dikaitkan dengan salah satu berita yang berjudul "Kunjungan ke Toba, Raja dan Ratu Belanda dihadiahi "Ulos Pinunsaan"".
Kekayaan budaya berdampak baik dalam bidang pariwisata. Salah satunya ada di daerah Lintong Nihuta, Sumatera Utara. Daerah ini dominan dihuni oleh kebudayaan batak. Salah satu produk budaya daerah ini adalah adanya rumah adat batak.Â
Rumah adat batak membawa wisatawan asing untuk mengunjungi tempat ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya kunjungan Raja Belanda Willem Alexander dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti ke rumah Adat Batak.
Dalam penyambutan Raja dan Ratu Belanda, daerah Lintong Nihuta menggelar tradisi penyambutan orang terhormat. Tradisi ini merupakan wujud nyata dalam merealisasikan budaya batak dalam hal penyambutan orang terhormat. Masyarakat daerah Lintong Nihuta ini membawakan tarian tor-tor dan ulos Pinunsaan.
Tarian Tor-tor merupakan produk dari identitas komunal suku batak. Tarian tor-tor ini diiringi dengan gondang batak yang merupakan alat musik pendukung milik masyarakat batak. Tarian tor-tor ini berbagai macam jenis nya dan kegunaannya. Setiap tarian tor-tor batak memiliki arti dan makna sesuai dengan kebutuhannya.
Seperti yang ditunjukkan pada penyambutan Raja dan Ratu Belanda, masyarakat Lintong Nihuta membawakan tarian Tor-Tor Panomunomuan. Tor-tor ini memiliki makna untuk menghormati orang besar daris segi memiliki jabatan.
Gerakan tarian tor-tor ini bukan sekedar gerakan biasa. Melainkan gerakan yang menari tanpa membelakangi orang terhormat dalam artian gerakan mundur kebelakang. Sehingga, mengandung makna untuk tidak membelakangi orang tersebut dalam hal menghormati serta menghargai keberadaanya.Â
Sama halnya dengan tor-tor, Ulos merupakan produk dari identitas komunal suku batak. Ulos adalah salah satu ciri khas budaya batak yang menjadi pembeda dari budaya yang lainnya. Ulos berbagai macam bentuknya dan memiliki pencampuran warna dan motif yang sangat indah.Â
Ulos ini memiliki keistimewaan yang menyimpan rahasia keterampilan seni dalam proses pembuatnnya dengan memberikan motif yang melamnbangkan ikatan kasih sayang. Ulos dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing serta memiliki makna tersendirinya.Â
Seperti dalam penyambutan Raja dan Ratu Belanda, Ulos yang diberikan pada Raja dan Ratu Belanda adalah Ulos Pinunsaan. Ulos ini dikenal dengan nama Ulos Jugia (Ulos Naso Ra Pipot) yang memiliki arti bahwa ulos ini digunakan atau diberikan kepada raja atau orang terhormat lainnya.
Ulos ini tidak digunakan atau diberikan kepada sembarang orang. Karena ulos ini memiliki nilai dan kedudukan yang tinggi seperti ulos ini hanya untuk orang tua yang telah memiliki cucu daria nak laki-laki dan perempuannya. Ulos ini juga sering disebut sebagai barang warisan yang bernilai sama dengan emas.Â
Masyarakat Lintong Nihuta memperkenalkan budayanya bukan saja melalui tarian dan ulos. Melainkan dengan cara menceritakan adat budaya batak dan melihatkan secara langsung proses pembuatan ulos ini.Â
Pembuatan ulos ini menggunakan bahan dasar benang sejenis kapas. Proses pembuatan ulos sangat rumit. Kerumitan inilah yang akan menentukan nilai sebuah ulos yang dibuat. Ada pepatah tetuah batak berkata bahwa "semakin lama pembuatannya, maka ulos tersebut memiliki tingkat kerumitan yang tinggi dengan mengandung nilai dari ulos tersebut juga tinggi".Â
Identitas budaya yang terdapat di daerah Lintong Nihuta ini dapat dilihat dari tarian, dan ulos sebagai produk budayanya. Mereka memperkenalkan produk budaya mereka dengan tujuan agar menunjukkan bahwa identitas yang ada di daerah ini adalah identitas komunal suku batak.Â
Dengan perkembangan Globalisasi, budaya batak juga mengembangkan produk budaya nya, salah satunya adalah ulos. Ulos bukan saja digunakan sebagai selendang dalam upacara adat, melainkan diperbaharui dalam bentuk suvenir, pakaian, tas, sarung bantal, alas meja, ikat pinggang, gorden, dan masih banyak lagi.
Karena setiap motif ulos mengandung makna tersendirinya. Ulos yang dibuat dengan berbagai macam tersebut tergantung pada jenis motif ulos yang digunakan. Motif ulos diperbaharui, tanpa melunturkan motif asli dalam ulos yang secara turun temurun.Â
Dengan kerumitan pembuatan ulos tersebut, hendaknya kita menghargai jasa yang membuat ulos dengan menggunakan dan memakai ulos tersebut. Dengan adanya perkembangan globalisasi, banyak sekali tantangan dan hambatan yang akan diterima dan dilalui dalam mempertahankan identitas budaya. Salah satunya adalah masuknya budaya-budaya luar yang akan memengaruhi persepsi kita. Secara tidak sengaja, kita mengadopsi budaya luar itu dan mulai melupakan kebudayaan kita.Â
Begitu juga dengan Tarian tor-tor. Tor-tor dapat dijadikan tarian hiburan tanpa menghilangkan ciri khas gerakan dari tarian tor-tor ini yaitu mengatupkan kedua tangan dengan gerakan naik turun. Tarian hiburan merupakan perpaduan tarian tor-tor asli dengan tarian modern sesuai dengan perkembangan zaman.
Salah satu contohnya adalah tari tor-tor Bona Jeges. Tarian ini menggunakan instrumen gondang modern. Â Yang dimana gondang merupakan ciri khas batak pada instrumen tarian batak yang tidak dapat dihilangkan keasliannya.Â
Identitas budaya merupakan hal penting untuk kita dalam menjalani kehidupan. Maka dar itu, sebagai generasi muda, peran kita sangat penting dlaam melestarikan budaya kita dengan cara salah satunya cukup ambil andil dalam acara adat di daerah kita.
Hal ini bertujuan agar identitas budaya yang kita miliki tidak akan hilang dan selalu melekat pada diri kita sehingga kita menjadi pribadi yang unik dan berbeda dari masyarakat lainnya. Sebagai warga yang tinggal pada negara kemajemukan masyarakatnya, perlulah kita mengenal budaya kita dan menghargai budaya orang lain supaya terwujudlah semboyan dari negara kita yaitu Bhineka Tunggal Ika.
DAFTAR PUSTAKA :
Aprilliana, N. (2020). Kunjungan ke Toba, Raja dan Ratu Belanda dihadiahi "Ulos Pinunsaan". Diakses pada tanggal 18 Desember 2020 melalui < antaranews.com >
Samovar, L. A., Porter, R. E., McDaniel, E. R., & Roy, C. S. (2017). Communication between cultures (8th ed.). Boston, MA: Cengage Learning.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H