Awal pekan ini Badan Pusat Statistik (BPS) melansir bahwa, nilai tukar petani (NTP) atau dikenal daya beli petani nasional Maret 2019 mencapai 102,73 atau turun 0,21 persen dibanding NTP bulan sebelumnya.
Penurunan NTP itu terjadi karena Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,02 persen, lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,23 persen.
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat tingkat kemampuan/daya beli petani.
Secara nasional, BPS mencatat, pada Maret 2019, NTP Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan terbesar (2,43 persen) dibandingkan penurunan NTP provinsi lainnya. Sebaliknya, NTP Provinsi Sulawesi Tenggara mengalami kenaikan tertinggi (1,41 persen) dibandingkan kenaikan NTP provinsi lainnya.
Statistik boleh bicara begitu. Sedangkan di lapangan, kondisi yang menjepit petani bukanlah nilai tukar mereka. Melainkan harga padi jenis Gabah Kering Panen (GKP) bergerak turun. Karena saat ini jumlah gabah kering sedang melimpah. Hal ini menjadi alarm bahaya bagi para petani, terlebih cadangan beras Bulog saat ini dalam posisi mencukupi.
Mengacu pada data BPS selama 4 tahun terakhir, harga panen padi terendah pada setiap tahunnya selalu terjadi di bulan April, dimana pada bulan tersebut terjadi panen raya.
Harga GKP di beberapa daerah utama penghasil beras, seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur, sudah berada di bawah harga acuan pembelian yang dipatok pemerintah. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 27 Tahun 2017, dipatok harga pembelian GKP di tingkat petani sebesar Rp 3.700 per kg.
Kondisi yang sudah sedemikian membuat petani rugi, dikhawatirkan akan terus terjadi dan terus memburuk seiring meningkatnya produksi GKP dari pertambahan luas sawah yang dipanen. Sedangkan di Jawa Barat sendiri, panen sepertinya masih akan berlangsung lebih lama. Dan semakin mendekati puncak panen raya, harga gabah diperkirakan semakin menurun.Â
Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan, agar petani kita tidak kelojotan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H