Mohon tunggu...
Sri Agung Mikael
Sri Agung Mikael Mohon Tunggu... PNS -

Mengintip wangsit dari langit, menyingkap kabut laut, mengembangkan layar bahtera KEBANGSAAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mati Surinya sang Kebangsaan

28 Oktober 2010   11:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali ke ide kebangsaan Indonesia.

Kini di usianya yang ke 102 tahun disumpahkan, atau 65 tahun setelah Proklamasi, bagaimana kisah perjalanan ide kebangsaan Indonesia itu? Apakah ia baik-baik saja? Atau mati surikah ia?

Ide kebangsaan yang menjadi isi sumpah kita kala itu--yang secara historis telah meniscayakan ada dan berdirinya NKRI, seharusnya tetap berharga dan tetap menjadi sumpah kita bersama. Ia seharusnya tetap menjadi basis moral sosial, politik dan tata negara. Tetapi tampaknya ia sedang mati suri. Mirip peristiwa sejarah yang ditulis oleh Louis Vernon P. pada tahun 1927 ketika di Amerika Teori Romantik Perancis yang mengusung republikanisme dibuat bertekuk lutut oleh gagasan liberalisme Inggris yang lebih pragmatis dan mengikuti hukum alam.

Di Indonesia, fakta hukum terpenting yang menunjukkan bahwa ide kebangsaan sedang mati suri adalah naskah amandemen konstitusi yang isinya telah merestrukturisasi ketatanegaraan Indonesia. Gerakan reformasi yang semula mengusung isu pembatasan jabatan presiden, tiba-tiba melebar hingga menyentuh dan merombak basis moral sosial, politik dan ketatanegaraan Indonesia. Ide kebangsaan yang menjadi basis pemikiran konstitusionalisme asli Indonesia dan dikonstruksikan dalam lembaga tertinggi negara telah direstrukturisasi, sehingga tidak jelas lagi lembaga mana yang memegang amanat bangsa. Garis-garis besar haluan negara yang menjadi pedoman setiap penyelenggara negara juga sudah tidak ada. Ide kebangsaan yang semula telah terstruktur secara sistematis dalam konstitusi sebelum amandemen, kini sudah tidak utuh lagi, telah diamputasi atau bahkan telah dimutilasi. Istilah bangsa atau kepentingan bangsa tinggal menjadi slogan, dan diucapkan oleh para pemimpin negeri ini manakala mereka sedang terjepit atau ketika mereka sedang ingin "bercinta" dengan rakyat pada musim ("kawin politik") pemilu.

Ketika menyingkap pertarungan antara "sang sumpah" versus "sang syahadat", kita ingat dengan Amin Rais. Ia dan para pendukung reformasi pada waktu itu telah dengan senang hati menerima "kuda troya kebebasan" sehingga seolah-olah telah menempatkan setiap manusia Indonesia pada titik yang tidak mungkin lagi berbalik, yaitu melupakan "sang sumpah" kebangsaan dan mengucapkan "dua kalimat syahadat" untuk memeluk "agama" baru, yaitu liberalisme.

Mungkin tidak asing lagi cerita tentang kuda troya. Kuda troya adalah kuda kayu besar, di dalamnya berisi pasukan elit Yunani. Kuda itu diberikan oleh pemimpin Yunani bernama Odysseus sebagai "hadiah" bagi bangsa Troya. Bangsa Troya yang semula sangat sulit dikalahkan oleh bangsa Yunani akhirnya hancur setelah menerima kuda kayu berisi pasukan tempur Yunani itu. Kuda Troya yang diterima Amin Rais dkk bukan terbuat dari kayu, tetapi terbuat dari sebuah rumusan sistematis dengan bahan baku berupa ide kebebasan.

Bagaimana prospek pertarungan antara "sumpah" versus "syahadat" dalam arus pemikiran konstitusionalisme Indonesia nantinya? Apakah sumpah itu tetap berharga dan diterima sebagai keniscayaan sejarah NKRI? Ataukah "dua kalimat syahadat" dari "agama" baru liberalisme itu yang kian diamalkan, diglobalisasikan, seiring dengan suksesnya restrukturisasi ketatanegaraan via amandemen konstitusi yang dilanjutkan dengan kebijakan perdagangan/pasar bebas yang kian terang benderang? Apakah akan ada keniscayaan sejarah baru di bumi Nusantara? Wallahualam bissawab.

Untuk Anda yang berminat menggaduhnya, berikut saya kutipkan tesis Milton Friedman (Guru of neoliberalism) : "Profit making is the essence of democracy, any government that pursues antimarket policies is being antidemocratic, no matter how much informed popular support they might enjoy. Therefore it is best to restrict government to the job of protecting private property and enforcing contracts and to limit political debate to minor issues." (The real matters or resource production and distribution and social organization should be determined by market forces).

Kami putra dan putri Indonesia, masih mengaku berbangsa satu, masih bangsa Indonesia. (28 Oktober 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun