[caption id="attachment_236925" align="alignleft" width="300" caption="anunyaanu.blogspot.com"][/caption] Beberapa hari yang lalu saya secara kebetulan mendengarkan dialog interaktif di RRI yang menghadirkan seorang direktur jenderal di Kementerian Dalam Negeri dan ibu Siti Juhro. Materi dialog adalah mengenai sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia. Yang mengejutkan saya adalah adanya komentar seorang pendengar yang meminta agar sang dirjen itu segera diturunkan dari jabatannya. Pasalnya, menurut pendengar RRI tadi, sang dirjen selaku pejabat negara terkesan tidak menangkap kekecewaan rakyat Indonesia terhadap perilaku Malaysia. Dalam beberapa hari ini Kompas.com juga menurunkan tulisan-tulisan yang terkait dengan sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia. Isu terbaru adalah tentang barter antara pencuri ikan yang adalah warganegara Malaysia dengan beberapa pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia. Judul tulisan ini hanyalah kiasan. Serigala berbulu domba adalah kiasan untuk menunjuk teman tetapi musuh. Siapakah dia yang dimaksud dalam tulisan ini?! Dia adalah Malaysia. Banyak spekulasi yang berkembang tentang betapa tidak bersahabatnya Malaysia. Tentang TKI yang sengaja diterima dalam keadaan illegal supaya mudah mengusirnya manakala pekerjaan sudah selesai. Ini disuarakan oleh para buruh migran yang de facto diterima sebagai buruh, tetapi ketika waktu gajian tiba mereka diusir dengan dalih TKI ilegal. Praktis mereka ini tidak menerima gaji. Si orang Malaysia cukup membayar petugas Polis Diraja Malaysia sebagai ganti upah kepada TKI. Lha si TKI ngacir tunggang langgang. Kasus bom Bali juga dispekulasikan sebagai upaya untuk mengalihkan pariwisata ke Malaysia. Tambahan pula masalah Ambalat dan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Belum lagi ratusan WNI yang terancam hukuman mati di sana. Itu semua menjadi tanda bahwa Malaysia lebih menyerupai serigala yang berbulu domba. Bulu-bulu yang dikenakannya adalah mengklaim sebagai bangsa serumpun, sesama negara yang mayoritas penduduknya muslim, sesama bangsa melayu dan sebagainya. Tetapi anehnya, bagi sebagian pejabat Indonesia, termasuk pejabat militer yang menyandang jabatan humas, semua itu seolah-olah baik-baik saja. Aneh. Lalu suara mahasiswa, suara pendengar RRI, suara para jurnalis, suara kompasianer, facebooker dan suara-suara dari akar rumput lainnya itu dianggap apa. Aneh. Sungguh aneh. Sengketa Indonesia Malaysia ini sengaja dibiarkan sebagai kanal mengalihkan permasalahan dalam negeri Indonesia kah. Atau para pengemban amanat rakyat sudah tidak mampu mencari jalan keluar kah. Atau pemerintahan Indonesia sudah tidak peduli dengan suara rakyat kah. Atau para pejabat Indonesia juga sudah terjangkut virus NIMBY secara akut kah, sehingga jika tidak ada kepentingan pribadinya di situ, lalu enggan bertindak. Atau jangan-jangan pemerintahan Indonesia sudah mengembalikan atau bahkan melemparkan tanggungjawabnya kepada masing-masing rakyat kah. Atau apa kah........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H