Umurku enam belas tahun lulus es em pe di suatu desa kecil di lereng gunung. Kulitku putih dan kata simbok wajahku ayu. Sebenarnya namaku Sarjiyati, tapi teman teman sekolahku lebih suka memanggilku Sarah. Dan tak pikir nggak ada salahnya, dan kayaknya lebih keren daripada nama Sarjiyati yang terdengar ndesani. Sebagai perawan yang sedang mekar mekarnya tak sedikit pria yang mendekatiku.Â
Dari perjaka tingting, duda, pria beristri bahkan bujang lapuk pun selalu mencari cari kesempatan untuk sekedar ngobrol denganku. Bukannya aku ge er alias gede rasa tapi ulah mereka seringkali membuat risih. "Sar, itu juragan kambing ngajak jalan jalan kamu nanti sore, katanya kamu mau di ajak ke mol" kata Peni suatu pagi. " Halah ngopo, diakan dah punya isti, bisa bisa aku di labrak dikapyuk wedang." Kataku sambil nyapu halaman depan rumah simbok yang nggak seberapa luas. Jan jane aku pingin banget ke mol yang katanya paling besar sak Yoja itu, tapi pasti simbok nggak mbolehin aku pergi sama Kang Parman juragan kambing itu. Pamali. "Halah kamu tu po nggak kepingin naik mobilnya yang kinyis kinyis itu, beli baju sepatu tas di mol, kamu nggak kepengen opo?" Peni mendesakku, kayaknya dia sudah dapat amplopan sehingga dia begitu gigih menyuruhku pergi dengan kang Parman. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H