Antara senang, kaget dan entah apalagi yang ku rasakan sore itu. Arif menyatakan cintanya padaku dan dia menginginkan agar suatu hari nanti hubungan yang kita jalin berujung di pelaminan.
Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa mengangguk tanda mengiyakan ucapannya.
Hari-hari berikutnya kami lalui dengan bersama, meskipun kami kerap bertengkar. Karena aku baru mengetahui kalau dia memiiki kebiasaan yang sepertinya sudah mandarah daging dan susah untuk dirubah.Â
Kebiasaan yang sudah menjadi karakter baginya. Aku juga baru mengetahui di satu tahun lamanya kita menjalin hubungan, bahwa dia juga termasuk orang yang keras dan sedikit kasar.
Leoni sudah kerapkali mengingatkanku, agar kembali berpikir untuk meneruskan hubungan ini atau mengakhirinya. Arif terbiasa keluar malam, berkumpul dan  berfoya-foya dengan teman-temannya hingga dini hari. Dan bisa dipastikan dia akan bolos kuliah karena paginya sudah lelap tertidur. Ibu dan ayahnya tidak pernah memarahi, mungkin karena dia anak tunggal yang begitu dimanjakan.
Sama seperti kejadian pagi itu ketika aku menelponnya,
"Rif, kamu kuliah kan. Hari ini katanya siding skripsi? Jemput aku ya sekalian, ban sepedaku bocor,"ucapku.
"Aku sedang malas ke kampus, kamu pesan ojek online aja. Aku ngantuk, uda ya," jawabnya menutup teleponku.
Aku merasa sangat tidak dihargai. Padahal ketika dia butuh waktuku untuk mengerjakan skipsi, aku selalu ada. Dia seharusnya sudah lulus kuliah sama sepertiku. Tetapi karena waktunya tersita untuk bermain-main, jadi dia harus mengulang beberapa mata kuliahnya.
Hari itu, Leoni menjemputku. Di sepanjang jalan, aku bercerita padanya tentang perlakuan Arif kepadaku. Leoni pun marah-marah dan mengumpat Arif.Â
Dia mengatakan bahwa aku harus segera mengakhiri hubungan yang sudah ku pertahankan hampir dua tahun ini. Leoni kerapkali ku jadikan tempat meluapkan rasa kesal ketika Arif dengan seenak hatinya memperlakukanku. Berkali-kali juga Leoni mengatakan agar aku berpikir ulang dengan mau mempertahankan hubungan ini.Â