Indang membuka jendela rumah Tongkonan, matahari belum terbit menghadirkan semilir angin dingin bertiup menabrak wajahnya. Perempuan muda itu sibuk melipat selimut teronggok di tempat tidur. Bau harum sayur tuttu (sayur daun singkong khas Toraja) dan ikan kering goreng menabrak cuping hidung Indang. Bebauan ajaib itu sontak menimbulkan rasa lapar luar biasa. Selepas merapikan kamar tidur, Indang duduk dekat jendela yang berada dalam kamar Indo' (ibu). Dibiarkannya hembusan angin kembali membelai wajahnya dan menebar hawa dingin ke dalam kamar. Ini adalah angin musim kemarau yang merangsang terbentuknya bunga mangga. Indang teringat pesan Indo', penanda khas tiba musim kemarau adalah mekarnya bunga mangga saat dinihari. Indang menutup mata menghirup hawa dingin dan  mengingat masa kecilnya bersama Indo'. Mereka sering menghabiskan waktu mengobrol bersama di ambang jendela sambil melihat pemandangan hijau di depan mata.
"Bunga mangga suka mekar saat hawa subuh sangat dingin," suara serak Indo' terpatri sangat dalam di ingatannya. Kenangannya tumpah tentang Indo' yang telah tiada.
"Bagaimana dengan bunga kopi di kebun kita, Indo'?"
"Bunga kopi mekar pada awal musim kemarau. Jika musim kering berakhir, kita sudah mempunyai buah kopi siap dipetik."
"Indo'...aku mau ikut memetik kopi, tapi aku takut luak yang suka muncul tiba-tiba di kebun kopi."
"Luak datang karena mencium harum buah kopi yang sudah matang. Luak tidak akan menggigitmu, dia hanya mencari buah kopi berwarna merah ranum."
Indang kecil mengernyitkan alisnya mendengar penjelasan Indo'. Mendengar kata luak, di kepalanya tergambar seekor binatang malam mirip kucing berbulu warna gelap, sangat suka makan ayam, buah kopi dan makanan lain yang ditemukannya.
"Setelah makan buah kopi, luak kekenyangan akan berak di bawah pohon kopi. Tainya dikumpul, dicuci dan disangrai menjadi kopi berharga sangat mahal."
"Seperti yang sering dilakukan oleh Ambe' (ayah)?" Indang bertanya penuh semangat dan dijawab dengan anggukan manis.
"Indo'...apakah orang tidak jijik minum kopi berasal dari tai luak?"
"Orang suka membeli kopi luak karena adanya zat ajaib yang berada di dalam perut luak mengubah rasa kopi menjadi sangat enak seperti yang dijual oleh Ambe'."
Indang mengangguk paham.
Suara angin mendesau terdengar seperti bisikan Indo' di telinganya. Indang memandang lesu koper dan barang lainnya yang teronggok di sudut kamar. Dia terlalu sibuk menerima kedatangan tamu menyatakan duka cita sehingga semua barangnya terbengkalai. Sebagai anak yang berbakti, Indang harus pulang kampung melepas kepergian Indo' untuk selama-lamanya. Indang memandang hamparan pekarangan melalui jendela kamar. Semua rumah tetangga masih  temaram. Beberapa bagian tertentu mengepulkan asap putih ke langit, pertanda dapur telah memulai aktivitasnya. Poni Indang awut-awutan, jatuh menjurai masuk ke mata nan sembab, penanda khas perempuan yang baru mengalami duka berkepanjangan. Kursi, meja dan pernak pernik bekas acara pemakaman sudah menghilang dari pekarangan Tongkonan. Semua kerabat dan handai taulan telah pulang ke rumah masing-masing membawa kenangan manis tentang Indo'. Indang mengambil bantal dan mencium aroma wangi tubuh Indo' di situ. Seburuk apapun tingkah Indang dan saudara-saudaranya, Indo' selalu membuka tangannya memberi maaf, bagaikan sebuah samudera tidak bertepi. Ini adalah rumah tempat Indo' dan Ambe' membesarkan anak-anaknya. Derap kaki kecil Indang bersama kakak dan adiknya menghentak lantai kayu Tongkonan menimbulkan keriuhan. Sebuah masa indah yang tidak mungkin terulang. Indang memandang foto Indo' dan Ambe' terpajang indah di dinding kamar. Senyuman manis tidak pernah usai tersungging di wajah perempuan yang telah tertidur abadi. Indang menghela nafas dan menundukkan kepala dalam keheningan pagi. Secuil rasa kehilangan membuat air matanya mengalir perlahan. Sebuah rasa tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata saat kehilangan orang yang sangat disayangi.
"Indang... ayo makan," terdengar teriakan Tanta Sali dari arah dapur. Sebelum ayam berkokok, perempuan penjaga rumah Tongkonan itu telah memulai rutinitasnya. Tanta Sali meracik bumbu  segar menggunakan peralatan masak yang diwariskan oleh pendahulunya. Dapur rumah itu masih menganut budaya tradisional dengan tungku pembakaran memakai kayu. Di sudut dapur terdapat tumpukan kayu bakar. Tali kawat yang berada di atas tungku menjadi tempat Tanta Sali menggantung jagung kering, bawang merah, lombok besar, dendeng aneka daging berasal dari upacara pemakaman Indo' dan berbagai rempah lainnya di dalam tampah bambu. Om Rundu, suami Tanta Sali bertanggung jawab mengumpulkan kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Di belakang rumah terdapat kebun kelapa milik Ambe' menyediakan banyak limbah digunakan untuk memasak. Wangi masakan dan denting piranti dapur menyapa langkah Indang saat masuk ke dapur. Wajah Tanta Sali terlihat lelah bersimbah peluh. Dia meniup arang supaya tetap membara. Harum tumis daging kecap memenuhi udara. Di sudut dapur yang hangat meringkuk si Belang, kucing betina peliharaan Indo' mulai mogok makan sejak kematian majikannya.
"Cuci tanganmu dan ambil piring di sana. Makanan sudah kutata di meja," terdengar instruksi dari perempuan bertubuh tambun yang merupakan adik bungsu Indo'. Indang merengut. Setelah sekian puluh tahun, perintah Tanta Sali tidak berubah, seperti instruksi untuk bocil yang masih bau kencur. Lupakah Tanta Sali bahwa tahun ini umurnya sudah 23 tahun, umur seorang perempuan di kampung yang sudah layak menjadi seorang pengantin.
Indang menyendok sayur tuttu ke piringnya. Sayur buatan Tanta Sali memang selalu bikin nagih, hari ini menunya adalah rajangan daun singkong penuh parutan kelapa muda disebut sayur tuttu. Bahannya tidak perlu membeli ke pasar karena tersedia di kebun belakang rumah. Dia juga mengambil ikan kering goreng dan pantallo lendong (semacam rawon terbuat dari belut) yang menjadi favorit Indang sejak kecil. Setelah membaca doa, Indang mulai makan. Memang sedap nian  masakan Tanta Sali saat hawa dingin melanda.
"Kau mau kemana hari ini?" Tanta Sali masuk membawa tumis daging kecap dan menaruhnya di meja. Indang menyuap nasi merah ke mulutnya. Dia meresapkan rasa itu ke otaknya sebelum menjawab pertanyaan Tanta Sali.
"Sejak Indo' sakit, kebun kopi di dekat hutan tidak terurus lagi. Om Rundu juga terkena kamateang (rematik) sehingga sulit berjalan ke tempat jauh," perempuan gemuk itu mendesah. Matanya memandang langit-langit rumah Tongkonan yang dipenuhi ukiran khas Toraja.
"Aku akan mengelola kebun kopi itu. Apakah di sana masih ada pohon cengkehnya?"
"Iya, masih ada tapi kurang terawat. Di sela-sela pohon cegkeh, Om Rundu menanam alpukat mentega. Terakhir dia ke sana sudah ada beberapa biji buah muda  baru terbentuk. Semoga saat ke sana kau dapat memanen alpukat dan apa saja untuk di bawa pulang ke rumah."
Setelah menyelesaikan makannya, Indang segera berkemas menuju ke kebun kopi.
Angin dingin pagi hari terasa menggigit ke dalam tulang saat Indang tiba di kebun kopi. Dilihatnya dangau peninggalan Ambe'Â masih bertahan, walaupun catnya sudah luntur. Daun kopi menghijau segar dan masih basah terkena sisa embun. Buah kopi hijau dan merah muncul bersilangan pada cabang, diselingi bunga berwarna putih.
"Om Rundu... apa ini?" teriak Indang dan mengangsurkan sesuatu ke hadapan Om Rundu.
"Oh itu tai luak," jawaban Om Rundu membuat Indang spontan membuang dompolan biji kopi itu ke tanah.
"Ah... kau ini, pamali membuang emas ke tanah."
"Om bagaimana sih? Katanya tai luak, makanya saya buang ke tanah," Indang menyeringai jijik melihat Om Rundu memungut kotoran luak yang berserakan di bawah pohon kopi sambil bersiul riang.
"Nanti kau lihat bagaimana hebatnya harta karun ini setelah kuolah di rumah," terdengar ceria suara Om Rundu.
Sore harinya Indang sedang menikmati pisang goreng saat Om Rundu datang membawa teko berisi kopi nan harum.
"Wangi benar kopi itu. Beli dimana Om?"
"Lah... ini biji kopi yang tadi kita bawa dari kebun."
"Biji kopi dari kebun?" Indang bertanya cemas. Jangan-jangan....
Wajah Indang terlihat pucat pasi.
"Kau kenapa Indang? Sakit?" Tanta Sali bertanya cemas.
"Tadi dia makan apa di kebun kopi?" Tanta Sali bertanya pada Om Rundu yang cengengesan.
"Kami tadi temukan banyak tai luak, iya toh Indang?"
"... dan tai luak itu aku olah, jadinya ini..." Om Rundu memamerkan isi teko yang dibawanya. Ternyata benarlah cerita Indo'. Indang sudah melihat kesaktian luak mengubah biji kopi di kebunnya menjadi komoditi berharga mahal.
"Bagaimana dengan kebun kopi peninggalan Indo'? Apakah kau mau tetap mengelolanya? Jika tidak, kebun kopi itu dibiarkan sampai ada orang yang berminat membelinya. Butuh biaya besar meremajakan kebun kopi yang pohonnya kurang produktif," terdengar perlahan suara Tanta Sali.
"Aku mau memberdayakan para luak untuk meningkatkan kualitas kopi yang kuhasilkan," Indang mengangguk mantap (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H