Henny mendesah, kembali membaca coretannya yang tertulis di dalam kertas. Dia menambahkan sebuah kalimat di bawah puisi itu.
"Ibuku adalah tipikal perempuan milenial yang tidak melupakan kewajibannya mengurus keluarga. Selain memintal benang sutra, ibuku pandai memasak, menjahit dan kemampuannya itu diturunkan kepadaku. Dia selalu menasihati bahwa seorang perempuan harus pandai memasukkan benang ke dalam jarum karena sangat banyak manfaatnya di kemudian hari. Teringat benar dalam benakku, aku dan beberapa orang saudara sepupu perempuanku diajari menjahit payet warna warni untuk hiasan pelaminan pengantin. Ternyata kerja keras kami tidak sia-sia, karena kami menikah menggunakan pelaminan pengantin tersebut. Menurut pandanganku, seorang ibu mengklaim dirinya sebagai ibu milenial harus cerdas membaca situasi dan peluang untuk meningkatkan pendapatan keluarga, merawat suami dan membesarkan anak-anaknya. Seperti almarhumah Ibuku yang telah merawat dan membesarkanku dengan penuh cinta. Kukirimkan Al Fatihah untuk almarhumah..."
Tetes air mata Henny membasahi kertas yang sedang ditulisnya. Doa terbaik dikirimkan untuk sang ibu yang telah berpulang keharibaan Tuhan yang Maha Esa (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H