"Bagaimana keadaan Ibu? Aku ingin sekali bertemu dengan beliau," Aditya menuangkan nasi ke piringnya. Dilihatnya Mang Koplak menyeringai seram.
"Ibumu menderita penyakit aneh. Dia selalu terpekik jerit jika di dekati manusia sehingga harus diasingkan ke sebuah tempat yang sangat jauh."
"Sejak kapan Ibuku sakit? Mengapa tidak ada yang menyampaikannya padaku?"
Mang Koplak tertawa garing mendengar jawaban polos Aditya.
"Kami kuatir jangan sampai kabar receh tentang Ibumu mengganggu kelancaran pekerjaanmu di luar sana. Kebanyakan anak muda begitu responnya saat mendapat kabar tentang orang tua dan keluarganya."
"Aku tidak seperti itu. Mengapa Sinta tidak menghubungiku?"
"Kamu dan Sinta sama saja, masa bodoh terhadap keadaan orang tua. Betapa apes nasib Nyai Kembang telah melahirkan anak durhaka ke muka bumi," suara Mang Koplak menggelegar dan menghilangkan selera makan. Dia dan Mamake segera meninggalkan ruang makan. Aditya menghentikan suapan pertamanya dan saling berpandangan dengan Vivienne. Ada apa di rumah itu?
Aditya merasa jiwanya berontak  bertinggal di rumah itu karena merasa dimata-matai oleh semua orang yang berada di situ. Penuh rasa jengah, Aditya mencoba bertandang ke rumah tetangga. Sayangnya para tetangga yang dikenalnya sudah lama meninggal atau menjadi pikun karena uzur. Semua orang yang ditemuinya di sepanjang jalan sangat enggan menyapa dan berlari ketakutan saat melihatnya. Entah kabar horor apa yang telah menimpa keluarganya. Aditya semakin bingung dan langkah kakinya membawa ke sebuah warung kopi yang masih sepi. Dia memesan segelas kopi susu yang diantarkan langsung oleh pemiliknya yang bernama Sabdo.
"Kamu baru berkunjung ke tempat ini?"
"Iya Pak."
"Tinggal di mana?"