Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist. I believe my fingers...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keinginan Terakhir

16 Oktober 2023   09:23 Diperbarui: 16 Oktober 2023   10:25 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sri NurAminah (Kebun Kol Malino, 1994)

Angin kering musim kemarau di Kampung Duri menerpa wajahku. Kutatap sebuah nisan dan gundukan tanah merah tempat sahabatku Rindang  tidur dalam keabadian. Ingatanku berputar cepat bagaikan laptop yang sibuk mencari file hilang. Rindang adalah sahabatku satu-satunya yang bertinggal di dekat rumah orang tuaku. Umur Rindang lebih tua beberapa bulan dariku  dan lokasi sekolahnya berbeda denganku namun itu bukan hambatan untuk persahabatan kami. Masih kuingat hadiah cubitan dari Ibuku saat aku merealisasikan ide gila Rindang  bermain jualan ikan di rumahku. Ibuku mempunyai sebuah kolam cantik berisi beberapa pasang varian ikan mas koki lion head, the white telescope (ikan mas koki yang matanya menonjol), mas koki mutiara, mas koki black moor (berwarna hitam pekat) dan mas koki komet yang siripnya menjuntai indah dalam air. Semua ikan cantik itu dirawat ibuku dengan sepenuh hati. Setiap kali tamu berkunjung ke rumah pasti memuji keindahan ikan mas koki yang menjadi koleksi beliau. Ulah kami membuat Ibuku mencak-mencak hebat karena  kolamnya porak poranda. Aku dan Rindang menangkap semua ikan mas koki kesayangannya dan dijejer di bawah terik matahari beralas daun pisang. Aku menjadi penjual dan Rindang menjadi pembeli ikan. Dapat dibayangkan bagaimana reaksinya ikan mas koki hidup mengalami sakaratul maut gegara dijemur di bawah sinar matahari. Memang hanya semenit tetapi cukup untuk menghantar beberapa nyawa ikan cantik itu menuju ke akhirat. Aktivitas ini menyebabkan paha kurusku mendapat hadiah beberapa biji cubitan  warna merah kebiruan sebagai perwujudan kemarahan Ibu. Beliau juga  mendiamkanku selama berhari-hari. Wajarlah kalau Ibu naik pitam karena harga ikan mas koki per pasangnya mencapai puluhan ribu bahkan ratusan rupiah untuk jenis langka. Beliau juga harus keliling ke berbagai tempat yang sangat jauh jaraknya dari Kampung Duri demi kelengkapan koleksinya.  

Kejadian ini membuat Ibu kurang senang jika aku bergaul dengan Rindang. Beliau menganggap pengaruh Rindang membuat aku menjadi  bandel dan sering membantah petuahnya. Keadaan bertambah genting saat Ibu menemukan beberapa buah komik remaja milik Rindang berada di bawah bantalku. Hal ini membuat Ibu semakin kesal pada Rindang. Tanpa diduga sebelumnya, hari apes untuk Rindang terjadi saat pulang dari pasar, Ibu memergoki Rindang  membolos sekolah dengan beberapa orang murid lelaki. Mereka merokok bergantian di bawah pohon besar di dekat kuburan tua. Kejadian ini diceritakannya padaku sehingga aku kena pengawasan ketat supaya tidak bergaul lagi dengan Rindang.  Aku akui, sejak kematian ayahnya, Rindang sangat terpukul dan menjadi ugal-ugalan. Keluarga Rindang juga berantakan karena ibunya nekad menikah dengan pacar Rindang yang masih belia. Sebagai sahabat Rindang, semua rahasia ini kusimpan rapat dari pantauan Ibu. Sayangnya Ibu telah melihat sendiri kenakalan Rindang membolos sekolah dan merokok dengan beberapa orang teman lelakinya. Hatiku sangat marah mendengar keputusan Ibu melarangku berteman dengan Rindang yang sangat kusayangi.

Rindang yang mengalami stres karena larangan Ibu untuk bertemu denganku akhirnya masuk rumah sakit karena menenggak cairan pembasmi serangga. Ibunya Rindang datang ke rumahku membawa kabar sambil berurai air mata. Sebagai tetangga dan sahabat almarhum bapaknya Rindang, ayahku berinisiatif membawa Rindang ke IGD untuk pertolongan pertama. Dengan wajah gusar, Ibu mengikut ayahku membawa Rindang ke rumah sakit. Ibu melarangku turut serta dalam keriuhan itu. Bersama beberapa orang tetangga lainnya, mereka beramai-ramai menuju ke rumah Rindang  dan membawa sahabatku ke rumah sakit yang berada di kota.

Aku lulus kuliah dan mulai sibuk dengan urusan kampus. Sejak aktivitasku bertambah padat dan pindah ke kota tempat kampusku berada, aku jarang sekali bertemu  Rindang yang tetap setia berada di Kampung Duri. Informasi dari Ibuku, sejak insiden  Rindang minum cairan pembasmi serangga, pintu rumahnya selalu tertutup rapat dan tidak ada tanda kehidupan di dalamnya. Saat libur kuliah, aku pulang ke rumah orang tuaku yang berada di Kampung Duri. Suasana kehidupan di kampung kelahiranku yang identik dengan rumah panggung kayu berada di kaki gunung yang berudara segar, kuanggap mampu menghilangkan beban berat setelah belajar keras selama berbulan-bulan.

Tanpa kuduga, secara sembunyi-sembunyi ibunya Rindang datang ke rumah dan membawakanku sebuah kejutan. Kami bertemu di bawah kolong rumah panggung orang tuaku.

"Maaf Embun, Tante mau menyampaikan titipan dari Rindang," dikeluarkannya sesuatu dari tas lusuh yang dibawanya. Wajah ibunya Rindang terlihat sangat lelah dan tidak bersemangat. Tanganku bergetar menerima bungkusan itu yang isinya buku harian Rindang.

"Bagaimana keadaan Rindang? Lama sekali saya tidak pernah bertemu dengan dia."

"Rindang baik-baik saja, dia kirim salam untukmu," ibunya Rindang menjawab dengan suara tercekat. Tiba-tiba terdengar suara Ibu memanggilku dari teras rumah panggung.

"Ibumu memanggil. Cepatlah ke sana, nanti dia panik lagi. Tante pulang sekarang ya," bergegas ibunya Rindang menutup wajahnya dengan selendang yang dipakainya. Dia menyelinap melewati  jejeran semak yang berada di belakang rumah panggung.

Setelah makan malam, kubuka buku harian dari Rindang. Aku selalu mengagumi tulisan tangannya yang sangat indah. Di dalam buku itu terangkum secara detail bagaimana awal kami bertemu. Hingga aku tiba di dalam sebuah halaman yang membuat jantungku berdebar tidak karuan.

...aku menyukai Ilham, cowok Kampung Duri yang sangat cool. Aku merasa semua cewek disini mendambakan Ilham menjadi kekasihnya. Siapa yang dapat menolak cinta Ilham yang berasal dari keluarga kaya, wajahnya tampan dengan tingkah laku santun. Namun aku merasa, keinginanku tidak bakal terwujud karena aku hanyalah produk  keluarga broken home dan Ibuku menikahi pacarku. Kamu tahu diary, hatiku sakit benar melihat orang yang kucintai berduaan dengan Ibuku setiap saat. Rasanya aku tidak punya harga diri lagi untuk hidup di dunia. Penyakit yang kuderita juga semakin parah. Jika Tuhan berkenan, aku ingin Embun menikah dengan Ilham karena aku menahu benar, di dalam sikap diamnya,  sahabatku itu mencintai Ilham. Pasti Ilham senang sekali mendapatkan calon istri yang santun, terpelajar dan keluarganya terpandang di sini....

Aku tercekat dan mataku tertuju pada kata penyakit. Memangnya Rindang sakit apa? Kesibukanku kuliah menyebabkan aku telah melalaikan sahabatku selama ini.  Pikiranku bergejolak dua arah, penasaran dengan penyakit Rindang dan Ilham, lelaki yang diam-diam aku sukai. Aku merasa rendah diri karena Rindang yang berkulit putih dan rupawan punya pesona untuk memikat lelaki itu. Tetapi sekarang dia menghibahkan lelaki itu padaku? Sembarangan saja ulah Rindang ini.

Beberapa bulan kemudian, aku mendapat surat dari ibunya Rindang, mengabarkan Rindang dirawat di rumah sakit. Lokasi rumah sakit tidak jauh dari kampus tempatku kuliah. Segera kutemui sahabatku setelah lama berpisah. Rindang yang cantik dan bertubuh aduhai sekarang tinggal belulang berbalut kulit. Aku menangis menyadari sahabatku itu telah digerogoti penyakit leukemia. Segera kupeluk tubuh ringkih di hadapanku.

"Kamu masih cengeng seperti dahulu, aku benci melihat air matamu," Rindang menyodorkan selembar tisu ke hadapanku.

"Maafkan aku Rindang, aku tidak menahu kamu sakit seperti ini."

"Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Selama disini aku belajar mengaji dan salat lima waktu, semoga Tuhan mengampuni semua dosaku. Kalau aku sudah tiada, kamu menikahlah dengan Ilham, dia lelaki yang baik untukmu."

"Kamu apaan sih?" aku memeluk Rindang sambil menangis.

"Kata Dokter, umurku tidak lama lagi. Aku sudah minta pada Tuhan, semoga aku meninggal dalam keadaan husnul khatimah memakai celana jeans dan baju kaos kesayanganku ini."

"Ya Allah, doamu gila sekali Rindang," tangisanku bertambah kencang mendengar kata-katanya. Akhirnya aku bolos kuliah hari itu dan menemani Rindang bercerita tentang semua memori kami di Kampung Duri. Dengan berat hati aku meninggalkan Rindang saat perawat mengingatkan jam besuk telah berakhir. Kami berpelukan lama sekali dan ternyata itu adalah pelukan terakhir kalinya.

Aku harus pulang ke Kampung Duri mengambil sampel tanaman untuk penelitianku. Tampaknya Tuhan telah mengatur itulah momen perpisahanku dengan Rindang untuk selama-lamanya. Karena kekurangan biaya berobat, Rindang dibawa pulang ke Kampung Duri dan dirawat seadanya. Rindang berpulang memakai baju kaos dan celana blue jeans kesayangannya sesuai keinginan terakhirnya. Air mataku tumpah melihat tubuh ringkih sahabat yang telah mendahuluiku. Dengan perlahan dan penuh kasih sayang aku membantu menggunting baju kaos yang dipakainya. Wajahnya bercahaya bagaikan tertidur lelap dengan rambut hitam nan kemilau. Sekarang sahabatku telah bersemayam di balik gundukan tanah di hadapanku. Kukunjungi kuburan Rindang untuk menyampaikan aku telah dilamar Ilham dan kami akan menikah bulan depan (srn).

Tentang Cerpenis

Sri Nur Aminah, perempuan peneliti yang sangat suka belajar tentang serangga. IG: srifirnas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun