Pagi itu langit tak berawan menyapa murid kelas sembilan sebuah sekolah negeri yang tidak terkenal. Bel sekolah yang terbuat dari sepotong pipa besi tua belum berdentang. Tiba di halaman sekolah, Satria disambut pandangan sinis teman-teman sekelasnya, bagaikan melihat alien yang baru turun dari langit. Diiringi ribuan rasa jengah, Satria berjalan pelan menuju ke bangkunya.
"Kudengar kamu mendaftar ikut pertandingan badminton melawan Jody. Hati-hatilah, dia orangnya licik," bisik Aryo di telinganya.
"Aku ingin mengubah nasibku. Berikan aku doa terbaikmu," Satria menggenggam tangan Aryo disambut dengan anggukan kepala.
"Aku yakin kamu dapat melakukannya dan selalu kudoakan yang terbaik untukmu. Saat ini aku harus membantu bapakku berjualan sepulang sekolah. Semoga aku dapat  menontonmu berlaga," senyuman Aryo membuat nyaman perasaan Satria.
Berdasarkan catatan panitia penyelenggara, terdapat lima orang peserta punya nyali untuk menghadapi Jody. Hari pertandingan tiba, hanya dua orang peserta siap menantang Jody, tiga lainnya mengundurkan diri beberapa hari sebelumnya. Pada hari H, Aryo harus membantu bapaknya berjualan hasil bumi di pasar. Ditemani Yatim, Satria memasuki arena pertandingan. Mereka duduk di kursi yang disediakan untuk pemain. Satria meletakkan tas berisi handuk, raket dan baju tepat disampingnya.
"Kakak berani melawan Jody?" tangan mungil Yatim menunjuk ke sebuah panggung yang dihias kertas warna warni. Dilihatnya seorang lelaki muda duduk di situ, dikelilingi circle penebar hawa kesombongan di sekitarnya. Satria menahu benar, sebagai juara berbagai event Jody akan mematahkan semua lawan-lawannya secara cepat tanpa perlu bertenye-tenye.
Pertandingan dimulai dengan babak penyisihan antar peserta sebelum berlaga dengan sang bintang. Satria mengakhiri permainan dengan gemilang di babak penyisihan. Badannya memang terlihat kurang gizi namun pukulan smash-nya mampu membuat lawannya tidak berkutik. Arena memanas saat lawan terakhir tumbang di lapangan. Satria duduk di tepi lapangan. Baju kaosnya basah kuyup. Segera dia melap keringatnya dan berganti baju kaos baru. Dilihatnya Jody turun dari panggung diiringi pasukan hore-horenya yang memaksa penonton untuk bertepuk tangan.
Paras dingin Jody membuat bulu kuduk Satria meremang.
"Semangat kak," di dengarnya suara kecil Yatim memberikan dukungan.
"Kamu support kakak ya. Kalau kakak menang, pulangnya kita beli es krim."
"Asikkkk..." Yatim tersenyum senang mendengar janji kakaknya. Emak memilih menunggu kabar di rumah. Perempuan berambut ikal itu kuatir penyakit jantungnya kumat gegara tidak kuat melihat Jody melibas putra kesayangannya di lapangan.Â