Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers, https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Awan Gelap Berbisnis Pakaian Bekas Impor

22 Maret 2023   01:03 Diperbarui: 22 Maret 2023   01:07 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Dia meyakinkan Pinto tentang tingginya minat masyarakat tentang kebutuhan pakaian bekas impor branded. Pinto yang telah pusing tujuh keliling terlilit masalah ekonomi dan kehilangan pekerjaan karena kecelakaan kerja segera menyetujui tawaran meminjam uang dari Bintaro sebagai modal membuka usaha itu. 

Pinto juga menyetujui pengembalian modal plus bunga dari keuntungannya berdagang pakaian bekas. Dia sangat percaya kepada kata-kata Bintaro yang meyakinkannya untuk menjalani usaha itu. Bean yang tidak berdaya hanya mengikut keputusan terbaik dari suaminya.

Singkat cerita, Pinto sukses mendapatkan los atau tempat berjualan di sebuah gedung berlantai dua yang menjadi pusat bisnis pakaian bekas impor. Uangnya yang minim menyebabkan Bintaro menaruh Pinto   di  los yang berada dalam  sudut gelap di lantai dua. Ternyata karung  pakaian bekas impor yang diterimanya dari Bintaro tidak sesuai dengan pesanannya. 

Awal mulanya Pinto ingin menjual pakaian bekas impor untuk anak-anak, tetapi karung yang diterimanya dari Bintaro berisi pakaian orang dewasa dan campuran barang lainnya. Kecurigaan Pinto timbul karena karung itu sudah terbuka segelnya saat diterimanya Saat Pinto protes kepada Bintaro, dengan enteng lelaki berbadan besar seperti binaragawan itu mengatakan bahwa memang begitulah  aturannya berdagang pakaian bekas impor. Bintaro harus melakukan inspeksi awal isi karung sebelum diberikan ke Pinto.

Yang membuat perasaan Pinto bertambah pilu karena Bintaro memaksa Pinto membeli puluhan hanger atau gantungan pakaian plus raknya untuk barang jualannya. Padahal saat perjanjian awal, Bintaro menyediakan hanger dan rak sebagai fasilitas dari los yang disewa oleh Pinto. Praktiknya Bintaro malah memberikan los kosong dan penuh sampah untuk ditempati oleh lelaki malang itu. Semua yang diterima Pinto sangat berlainan dengan janji manis Bintaro.

Mulailah kehidupan Pinto berjualan pakaian bekas impor. Persaingan dengan los tetangga sebelah menyebabkan Pinto harus menurunkan harga pakaian jualannya serendah mungkin supaya dia mendapatkan uang untuk biaya makan keluarganya. Pinto memilih berjalan kaki ke los sewaannya sejauh beberapa kilometer demi mengurangi biaya transportasi. Setelah diamati secara detil, pakaian bekas impor yang diberikan oleh Bintaro sebagai barang jualan juga banyak yang cacat, bahkan ada yang robek dan tidak dapat diperbaiki lagi. 

Bukan hanya kondisi pakaian yang tidak layak jual, Pinto juga harus menerima pil pahit. Opini masyarakat tentang pakaian bekas impor yang membawa kuman sumber penyakit juga harus ditelannya mentah-mentah. Bau khas desinfektan yang digunakan dalam penanganan pakaian bekas sebelum dikirim ke tujuan terasa sangat menyengat dan membuat nafasnya sesak. 

Penggunaan desinfektan pada pakaian bekas impor menguatkan stigma masyarakat bahwa pakaian bekas tidak aman dipakai. Sebenarnya Pinto sangat berharap pakaian bekas impornya laku saat menjelang Idul Fitri karena dia telah membanggakan dirinya menjual pakaian bekas branded. Tetapi impian indah itu bagaikan menggantang asap. Masyarakat yang merayakan Idul Fitri cenderung memilih baju baru, bersih dan tidak mementingkan merknya.  Bagaikan hari kemenangan di akhir Ramadan yang mengembalikan manusia kepada fitrah yang suci.

Saat Bintaro datang menagih biaya pembayaran los, Pinto segera menyerahkan kunci sekaligus isi los kepada Bintaro. Pinto memutuskan membawa pulang keluarganya ke kampung dan menjadi petani di sana. Dia tidak tahan lagi dengan situasi kejamnya ibu kota yang menyebabkan kakinya menjadi pincang akibat insiden di tempat pelelangan ikan. 

Keputusan ini diterima oleh Bean dengan lapang dada. Dia merasa optimis nasib anak-anaknya akan lebih baik jika mereka bertinggal di kampung. Keramahan hidup di tengah hamparan sawah dan ladang di kampung terasa bagaikan  pelukan penuh kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. 

Anak-anak Pinto dan Bean juga menurun kesehatannya selama mereka berjuang hidup di tengah kerasnya ibu kota. Pengalaman Pinto menjual pakaian bekas impor membuat matanya terbuka lebar bahwa pekerjaan itu tidak menjanjikan kehidupan layak. Tidak semua orang sudi mengenakan pakaian bekas milik orang lain karena kuatir terkena penyakit kulit atau ketularan bau badan dari pemilik sebelumnya. Suatu realitas yang menjadi pertimbangan pemula untuk memulai usaha di bidang tersebut (srn).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun