Sulitnya mendapatkan pekerjaan seringkali membuat seseorang mengambil keputusan secara terburu-buru demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Persaingan di era globalisasi membuat seseorang dengan keterampilan pas-pasan akan terlempar keluar dari arena. Mencari sesuap nasi untuk orang yang telah berkeluarga terasa sangat berat dibandingkan saat belum berkeluarga. Kehadiran sang buah hati  yang harus diberikan asupan nutrisi layak sangat penting diperhatikan dalam menunjang perkembangannya di masa depan.
Pinto dan Bean adalah sepasang suami istri berasal dari kampung di kaki gunung. Banyaknya gedung tinggi dengan lalu lalang orang sibuk bekerja  plus kehidupan penuh warna-warni di kota besar  telah menarik minat Pinto untuk memulai karirnya di situ. Pinto yang baru lulus dari sekolah menengah swasta tidak mempunyai kemampuan memadai dalam berbahasa asing seperti yang disyaratkan saat rekruitmen pegawai baru di suatu perusahaan.Â
Jika tetap memaksakan diri bekerja di tempat itu, Pinto harus menyediakan dana besar untuk 'lompat jendela' supaya dapat bersaing dengan calon lain yang mempunyai dana lebih kencang. Pinto terkulai lemas mendengar bisikan bapak manager perlente mata duitan yang cengar cengir menunggu mangsa.
Seorang istri dan tiga orang balita kelaparan menunggu kedatangan Pinto di rumah. Adanya tanggung jawab dalam memberikan nafkah keluarga membuatnya nekad menerima tawaran bekerja di tempat pelelangan ikan. Pekerjaan ini tidak memerlukan pemikir yang handal karena modal utamanya  bangun di saat langit masih gelap dan kekuatan fisik untuk mengangkat basket berisi ikan turun dari mobil tengkulak.Â
Pinto mulai bekerja dengan gaji senilai lima belas lembar uang lima ribuan plus bonus ikan tidak layak jual. Tidak layak jual disini berarti bahwa ikan itu telah mengalami kerusakan saat dalam perjalanan ke tempat pelelangan, contohnya: ikan yang kepalanya hancur karena jatuh ke lantai dan tertindih keranjang yang beratnya puluhan kilo. Pinto manggut-manggut mendengarkan penjelasan bos besar pemilik pelelangan ikan.
Saat Pinto akan pulang mengendarai sepeda bututnya, tiba-tiba dirinya dipanggil oleh mandor. Ternyata sang mandor menyodorkan dua ekor ikan yang telah remuk kepalanya.  Rezeki tidak terduga di hari pertamanya bekerja membuat hati Pinto berbunga-bunga. Dia sangat senang membayangkan buah hatinya pasti bersorak girang  melihat ikan yang dibawanya.Â
Tiba di rumah, Bean segera menyiangi ikan dan Pinto menyiapkan panggangannya. Ketiga buah hatinya tertawa senang dan bertepuk tangan  menunggui matangnya ikan yang dibawa dari tempatnya bekerja. Mentari tersenyum lebar kepada keluarga itu saat  Bean datang membawa semangkuk besar nasi panas, kecap dan potongan cabai rawit menemani hidangan ikan bakar yang terasa sangat istimewa.
Manusia dapat berencana tetapi Tuhan jualah penentu takdirnya. Baru sebulan bekerja, Pinto terkena musibah. Kakinya tertimpa keranjang ikan yang sangat berat mengakibatkan pecahnya kuku di jempol kakinya. Lebam biru dan aliran darah mengalir dari kuku Pinto yang terlepas.Â
Pinto meringis menahan nyeri yang menghunjam kakinya. Bukan hanya kakinya, ternyata bahu Pinto juga mengalami salah urat karena terlalu beratnya keranjang yang harus diangkat setiap hari. Kecelakaan ini menyebabkan sang bos tidak berani mengambil resiko besar. Dia segera memberikan uang saku ala kadarnya dan meminta Pinto untuk mencari pekerjaan lain jika penyakitnya telah sembuh. Pinto merasa sangat kecewa karena terbayang raut sedih wajah istrinya jika menahu dia telah kembali menjadi pengangguran lagi.
Konon katanya ibu tiri galak dan sadis, tetapi kenyataannya ibu kota luar biasa kejamnya terhadap pendatang seperti Pinto dan keluarganya. Barang bawaan dari kampung sudah ludes terjual untuk menyewa bilik sederhana dan biaya makan sehari-hari. Bean yang bekerja sebagai buruh cuci terkalahkan tenaganya oleh usaha laundry yang menawarkan jasa cuciah harum, rapi dan selesai dalam sekejap. Bean tidak berdaya menghadapi pesaingnya yang bermodal kuat. Dia harus menerima nasib kembali menganggur dan merawat suaminya yang sakit.
Suatu hari rumah Pinto kedatangan Bintaro, temannya yang menjadi pedagang pakaian bekas impor alias cakar. Istilah cakar atau 'cap karung' diberikan untuk pakaian, celana, seprai, selimut  atau barang impor lainnya berasal dari luar negeri. Barang itu dibungkus memakai karung berlapis-lapis dan diikat rantai besi. Bintaro mengiming-imingi Pinto dan Bean tentang keuntungan yang akan didapatkannya dari bisnis pakaian bekas impor.Â