Sebagai orang yang pernah hidup dengan PRT yang telah dianggap sebagai keluarga, saya sangat senang rencana dibelakukannya UU PRT. Walaupun terlihat sepele, adanya Undang-Undang ini melindungi PRT dari tindak kriminal. Umumnya tugas pokok PRT adalah: mencuci, memasak, menyetrika dan membersihkan rumah. Namun seorang PRT juga merangkap sebagai pengantar anak sekolah, penerima tamu, mengurus hewan peliharaan, mengantar uang arisan majikan ke arisan tetangga dan berbagai tugas lainnya. Berdasarkan hal tersebut, seorang PRT sangat rentan menjadi korban eksploitasi yang bekerja melampaui 18 jam sehari. Sayangnya sampai hari ini UU PRT belum disahkan oleh Pemerintah Indonesia. Sampai kapan kita membiarkan PRT bekerja tanpa perlindungan hukum dan kehilangan nyawanya?
Terdapat banyak sekali perbedaan PRT di masa kecil saya dengan PRT zaman now. PRT jadul bertahan lama karena hatinya terikat dengan majikan yang telah memberi perlindungan dan kasih sayang. Bahkan ada PRT yang diangkat menjadi anak dan menyatu dengan keluarga majikan. PRT kekinian sudah kenal gadget sehingga ogah bekerja kasar sebagaimana PRT jaman baheula. Derasnya arus informasi online menyebabkan para PRT sangat mudah terpengaruh teman atau oknum yang mengiming-imingi mencari kerja di tempat lain yang gajinya lebih besar. Ada juga PRT yang terkena masalah hukum karena menyebarkan video majikannya yang baru bangun tidur di media sosial sehingga menimbulkan amarah sang anak (Suara Sumbar, 18/10/2022).Â
Umumnya PRT yang bekerja di kota Makassar dibawa calo yang rumahnya ditempati sebagai penampungan PRT untuk mencari pekerjaan. Selain alasan ekonomi, motivasi remaja pelosok menjadi PRT adalah:  rasa gengsi bekerja  sebagai petani di kampungnya sehingga ingin menikmati kehidupan kota nan gemerlap dengan kemampuan seadanya. Adapula oknum yang menggunakan kesempatan bekerja sebagai PRT untuk menguras harta majikan saat empunya sedang berada di luar rumah.Â
Miris sekali menjumpai kondisi keluarga yang butuh bantuan PRT tetapi malah didzolimi oleh PRT di rumahnya sendiri. PRT yang dibawa calo ke rumah calon majikan tidak terdaftar mendapatkan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Besarnya upah seorang PRT seperti ini tidak merujuk kepada UMR yang ditetapkan Pemerintah namun berdasarkan negoisasi calo dengan calon majikan. Selain itu, tidak ada surat pernyataan yang mengikat antara calon majikan dengan PRT yang akan bekerja sehingga sulit menuntut majikan jika tidak membayar upah sesuai kesepakatan.Â
Selain itu, PRT yang dibawa calo juga telah menggoreskan stigma negatif. Pengalaman yang saya lihat, baru seminggu bekerja, calo yang menjadi penyalur datang menyampaikan kepada PRT yang dibawanya bahwa keluarganya minta si PRT segera pulang kampung. Jika PRT menolak pergi, calo akan meneror PRT setiap hari sampai majikan hilang kesabaran dan menyuruh PRT pergi walaupun PRT itu sudah mulai kerasan. Inilah dinamika hubungan PRT dan majikan yang lazim ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga UU PRT segera disahkan untuk memberikan jaminan perlindungan negara kepada PRT dimanapun dia bekerja (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H