Mohon tunggu...
Sri Sulastri
Sri Sulastri Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Saya adalah seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu sekolah swasta di Depok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bu Afi Inspirasi Hati

6 Agustus 2024   13:00 Diperbarui: 8 Agustus 2024   08:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Temannya yang dulu merasa sok berkuasa di kelas, sok cantik, sok pintar, sekarang ia masih menjadi karyawa di sebuah PT. Sedangkan….” bu Afi terdiam menahan sesak, suaranya semakin lirih. Apa itu? aku melihat butiran air yang menggenang di matanya. Kemudian ia mencoba melanjutkan dengan sedikit terbata-bata.

“Se...dangkan gadis kecil yang malang tadi, kini ia menjadi owner sebuah butik yang semakin maju. Selain mempunyai butik ia adalah seorang guru di sekolah ternama.”

Bibir seluruh siswa yang tadinya tertutup rapat, tiba-tiba terperangah mendengarnya. Semua siswa mulai membuka suara. Tak jelas mereka bergumam apa, yang pasti aku masih penasaran, karena dari wajah bu Afi terlihat cerita belum selesai. Benar saja, tak menunggu lama bu Afi membuka suara.

“Dan, gadis kecil itu sekarang...,” butiran air matanya semakin jelas, menahan sesak di dada. Aku semakin penasaran. Aku menanti dengan sabar ceritanya. Bu Afi menarik nafas untuk menormalkan rasa sesak itu, kemudian ia pun melanjutkan.

“Gadis kecil yang dulu di kucilkan, di sisihkan bahkan menjadi bulan-bulanan temannya, sekarang gadis kecil itu berada… di hadapan kalian.”  Pecah butiran air yang menggenang di bola matanya tadi. Ia mencoba menahan tangisnya. Tak sadar air mata menetes di kedua pipiku. Aku mendengar di bangku paling belakang, tangisnya histeris. Aku menoleh, ternyata mereka adalah ‘tribel’ itu. Aku melihat seluruh teman-temanku. Mereka semua menangis. Aku tak tahan, ada rasa sesak di dadaku. Aku berdiri dengan pasti, kakiku bak di sihir. Melangkah ke depan kelas sambil menangis aku berlari memeluk bu Afi. Aku merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Tangis kami pecah, pelukanku di sambut dengan elusan tangannya yang lembut di kepalaku.

  Aku merasa sangat nyaman berada di pelukan gugruku. Aku menangis sejadi-jadinya. Ketika aku meresapi hangatnya pelukan itu. Tiba-tiba beberapa temanku menghampiri bu Afi dan memeluknya. Beberapa saat, ada lagi yang menghantam tubuhku dengan tubuh seorang siswi yang hendak memeluknya juga. Lagi, lagi dan lagi. Hantaman itu sangat terasa di tubuhku. Kami menangis sejadi-jadinya.

Ketika itu, bu Afi ibarat bunga yang di serbu puluhan lebah. Akulah lebah yang paling pertama menghinggap di bunga yang harum itu. Sempat merasa sesak karena gerumunan teman-temanku. Tetapi aku merasa senang, bahkan sangat senang, karena aku tidak salah memfavoritkan guruku ini.

            Bu Afi menenangkan kami. Perlahan pelukan itu melonggar. Ketika aku mulai membuka mata, aku tersadar. Ternyata yang memeluk bu Afi setelahku adalah ‘tribel’ itu. Ya, ‘tribel’ yang salama ini sok berkuasa, sok cantik, sok pintar, mereka luluh dengan kisah bu Afi.

            Dengan nada terisak. Bu Afi meminta kami untuk duduk kembali ke kursi masing-masing. Ketika berjalan menuju kursiku. Aku melihat siswa laki-laki tak luput dari isakan tangis. Mereka tertunduk menghela air mata. Bu Afi mencoba tegar, dan menormalkan dirinya dari luluh lantahnya tangisan tadi, kemudian berkata.

            “Kalian harus belajar dari kisah ibu, kalian tidak tahu nasib kalian 10 sampai 20 tahun mendatang. Siapa tau yang kalian remehkan jauh lebih baik dan lebih berhasil dari kalian nantinya. Jangan pernah merasa paling berkuasa, paling pintar dan jangan pernah menyakiti orang lain, karena rasa sakit itu ibarat paku yang tertancap di sebatang pohon, ketika paku itu di cabut, bekas tusukan itu tak akan hilang sampai kapanpun. Ibu tidak dendam kepada mereka, malah sekarang kita berteman. Tetapi bekas paku yang tertancap di pohon, apa bisa pudar? Apa kembali seperti semula? tidak, ia tidak akan pudar sampai kapanpun.” Kata-kata bu Afi sangat tegas. Bagaikan aungan harimau yang mengisyaratkan anaknanya ketika ada bahaya yang akan menerjang. Seraya mendengarkan, isakan tangis itu masih ada dari penjuru kelas. Sesekali aku menggela airmata.

 Aku mendapat pelajaran berharga dari pengalaman bu Afi. Akan aku ingat sepanjang hayat. Kini ‘tribel’ itu tersadar dari sikap-sikap mereka yang menjengkelkan. Kelas ini menjadi menyenangkan dengan penuh kehangatan persahabatan. Sayangku kepada guru favoritku semakin berlipat ganda, dan tidak pernah pudar sepanjang masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun