Melanjutkan wisata dengan keluarga di sekitaran Dieng yaitu di kawah Sikidang. Hari sudah agak siang setelah kunjungan pertama ke Batu Ratapan Angin dan kemudian ke tempat wisata ini di kawah Sikidang.
Parkiran yang cukup luas dan biarpun cahaya matahari terik tapi hawanya sejuk banget, sehingga bisa istirahat sejenak di parkiran. Sementara yang lain membeli tiket, aku sama bocil-bocil lari-larian dan tak mau kehilangan momonet untuk ambil photo di sini.
Mengutip dari Wikipedia :
Kawah Sikidang merupakan lapangan perkawahan di Dataran Tinggi Dieng yang berada paling dekat dengan kawasan percandian Dieng, mudah dicapai, dan dinikmati karena terletak di tanah datar, sehingga juga menjadi kawah yang paling dikunjungi wisatawan. Kawah ini terletak di Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara. Posisinya berada di sebelah timur dari Bukit Pangonan, berdekatan dengan Kawah Sibanteng dan Kawah Upas-Luwuk.
Kawah Sikidang merupakan kawah aktif terbesar yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Kawah ini memiliki satu telaga air panas kecil dengan air yang selalu mendidih dan lapangan celah gas dengan titik-titik yang selalu berpindah-pindah di dalam suatu lapangan seluas lebih kurang 4 hektare. Dari karakter inilah namanya berasal, karena penduduk setempat melihatnya seperti kijang (kidang dalam bahasa Jawa) yang melompat-lompat. Dari sisi geologi, kawah ini tergolong muda. Catatan letusan freatik terakhir terjadi pada tahun 1981.
Setelah tiket di tangan maka kami mulai memasuki kawasan wisata ini. Kali ini baru pertama kalinya juga saya ke kawah Sikidang. Ada jalan setapak dan petujnjuk arahnya yang harus diikuti.
Pemnadangan yang indah dengan hawa yang sejuk mulai tersaji di depan mata. Kami bisa melihat dengan jelas beberapa kawah kecil, sedang maupun yang agak besar yang masih aktif yang mengeluarkan air panas yang meletup-letup. Ada beberapa wisatawan yang mencoba snesasi merebus telor di kawah tersebut, tapi kami menolak saat ditawarin. Rasanya kok serem ya. Saya mbayangin nanti kalau tiba-tiba airnya menyembur ke atas kena kita gimana? Saya terlalu halu kayaknya ya.
Di tengah perjalanan kami bertemu dengan anak berambut gimbal. Kami sempet ngobrol ke adik-adik yang manis berambut gimbal ini. Anaknya baik dan ramah pada setiap pengunjung tapi sayangnya kami lupa foto dengan mereka.
Mereka bercerita kalau rambutnya itu juga sering di kramas dan di sisir tapi balik gimbal lagi. Jadi katanya memang begitu rambutnya.
Konon katanya anak yang berambut gimbal ini adalah anak yang istimmewa dan membawa kesejahteraan bagi warga. Anak yang berambut gimbal atau biasa disebut anak gimbal dianggap sebagai titisan Kyai Kolo Dete dan Nini Roro Ronce. Nini Roro Ronce merupakan abdi dari Nyi Roro Kidul, sang penguasa laut selatan yang bertugas untuk tinggal dan menjaga Dataran Tinggi Dieng.
Kami terus berjalan mengikuti arahan jalan yang dilalui, kemudian kami juga bertemu dengan para pedagang "bongkahan batu belerang" yang katanya berkhasiat bagi kesehatan terutama untuk menghilangkan gatal-gatal pada tubuh. Kamipun membeli beberapa bungkus.
Akhirnya kami melihat kawah yang sangat besar dengan banyak kepulan asap sehingga tampak bagus sekali. Tak ingin kehilangan kesempatan indah ini, kamipun langsung berpose disini.
Perjalanan kami lanjutkan dan sampailah pada tempat yang banyak warung yang menjajakan makanan khas Dieng, seperti tempe kemul, carica, minuman purwaceng dan masih banyak lagi. Setelah membeli bebrapa untuk oleh-oleh, kamipun mencari warung untuk makan siang bersama. Hawa yang sejuk membuat semua makanan terasa enak.
Perut sudah terisi dan anak bocil mulai ngantuk dan kecapekan. Tapi perjalanan harus dilanjutkan. Sementara anakku yang sudah SMA dan ponakan yang SMP serta bapak-bapak masih semangat sekali mengelilingi kawasan tersebut. Kami yang emak-emak mulai kerepotan sama bocil. Akhirnya ada seorang pedagang yang memberi bocoran jalan pintas keluar. Akhirnya kamipun "Mbrobos" keluar. Jangan ditiru ini ya hahaha.
Mengutip dari beberapa sumber begini asal usul Kawah Sikidang
Kawah ini terbentuk karena legenda perjodohan Ratu Sinta Dewi dengan Pangeran Kidang Garungan. Ratu Sinta Dewi menolak lamaran itu karena wajah pangeran ini mirip kidang (rusa dalam bahasa indonesia). Agar tidak tersinggung, Ratu Sinta Dewi meminta bukti cinta Pangeran Kidang lewat pembuatan sumur yang sangat dalam. Pangeran Kidang pun menurutinya, tapi ternyata permintaan itu hanya strategi Ratu Sinta agar tidak menikah dengan Pangeran Kidang. Ternyata, pembuktian cinta itu berakhir tragedi. Ratu Sinta dan pengawalnya malah mengubur pangeran hidup-hidup saat pangeran tengah menggali sumur. Menggunakan sisa kekuatan, Pangeran Kidang berusaha keluar dari lubang namun tidak bisa. Amarah Pangeran Kidang membuat air tanah di lubang itu kemudian mendidih. Cerita tentang Pangeran Kidang dipercaya sebagai asal usul Kawah Kidang.
Meskipun itu hanya sebuah legenda, cerita ini mampu menarik orang-orang untuk berkunjung dan menimbulkan rasa penasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H