Hari ini aku dikejutkan oleh kabar dari guru les ku teacher Rossa ke ibuku lewat WA
"Halo madam, just info for you that teacher Michelle passed away yesterday"
Ya Allah terkejut dan pengin nangis aku. Beliau adalah guru kelasku pas aku sekolah di CIA International School Phnom Penh. Masih belum percaya akan berita ini. Aslinya kalau ada rejeki dan kesempatan ingin rasanya ke sana dan bertemu lagi tapi Tuhan berkata lain.
Namaku Andika yang terlahir di Cibinong dan bertumbuh besar di sana. Atas kuasa Tuhanlah aku bisa pindah ke Phnom Penh, sebuah kota yang ada di negara tetangga yaitu Kingdom of Cambodia. Banyak yang kurang mengenal negara ini karena memang negara ini masih sedang berkembang dibandingkan dengan negara sebelahnya yaitu Thailand dan Vietnam.
'Good morning" Teacher Michele masuk kelas dan menyuruh saya maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Dengan bahasa inggris yang pas-pasan aku perkenalkan nama, alamat, mengapa pindah sini. Itu juga sudah disiapkan beberapa waktu yang lalu sama guru les bahasa pas di cibinong. Canggung banget rasanya. Dan paling asing karena hampir satu sekolah atau 99.99% nggak bisa bahasa Indonesia. Orang asing yang sekolah di sini juga hanya sekitar 30% sedangkan sisanya warga lokal. Tapi bagusnya sekolah ini mewajibkan siswanya berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris bukan bahasa Khmer atau bahasa lokal Cambodia.
Dalam kondisi saya belum terlalu lancar bahasa inggris, saya mencoba berkomunikasi memakai bahasa sebisa saya dan saya juga menggunakan hobi sepak bola sebagai media komunikasi dengan teman
Waktu itu aku masih kelas 4 SD.
Metode main bola bersama ternyata yang paling mengasyikkan. Hari pertama masuk sekolah aku bisa langsung punya teman banyak dengan hobi yang sama. Dari situlah aku mulai mendapatkan pengalaman yang banyak komunikasi bahasa inggris, banyak kosa kata bertambah dan bisa lebih fasih dalam bicara serta mendengarkan.
Sekolah di sini beda banget sama di SD ku di daerah Citeureup. Disini anak dituntut belajar aktif, banyak nonton vidio sebagai pembelajaran, ada pelajaran IT yang mengajarkan pembuatan program gaming sederhana dan anak-anak kalau jamkos atau jam kosong bukannya senang tapi langsung pada kompak ke ruang kepala sekolah minta dikasih guru pengganti agar bisa belajar. Sangat menyenangkan.
Yang membuatku sedih sekolah di sini hanya karena nggak bisa sholat dan nggak ada mushola. Padahal sekolah mulai jam 7 pulang jam 4. Hampir 100% siswa beragama Budha.
Untuk mengejar kekurangan, sore dirumah panggil guru les lagi dengan tarif usd25 per jam.
Hanya setahun aku di phnom penh. Betapa aku berterima kasih pada Tuhan mendapatkan kesempatan menimba ilmu di negara tetangga, mengiplementasikan atau mengaplikasikan  bahasa inggris yang sesungguhnya bukan hanya teori, berkumpul belajar bersama anak-anak cerdas biarpun hanya sebentar. Yang hal ini tentunya tidak semua anak mempunyai kesempatan seperti aku.
Saat ini aku sudah kembali ke tanah air tercinta menuntut ilmu di kabupaten bogor lagi. Pengin suatu saat nanti bisa ada kesempatan menuntut ilmu di negara lain.
Ini hanya catatan kecil hidupku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H