Mohon tunggu...
Sri Idawati Basri
Sri Idawati Basri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Tiba-tiba ia merasa ia hanyalah seorang homo fictus dan kehidupan yang ia jalani adalah ceritanya.. ~norman erikson pasaribu~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Seberapa Sering Kamu Melihat Katak?

17 Juni 2021   14:11 Diperbarui: 17 Juni 2021   14:51 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
makerangerdistinct.com

Sore itu, Wadas diguyur hujan yang turun tepat waktu.
Aku masih berada di Yogyakarta sekira tiga jam sebelumnya, bersiap menaja perjalanan ke desa itu di tengah cuaca yang agak mendung. Meski membawa mantel, berkendara saat hujan adalah perkara yang tidak ingin kulakukan sering-sering. Merepotkan. Kacamataku mesti tergenang air, membuat pandanganku kabur dan berkurang jangkauannya.


Namun ternyata cuaca cukup cerah sepanjang perjalanan lalu kembali mendung ketika kami sampai di Desa Wadas sore itu. Di tengah suhu yang dingin, kami disambut dengan nasi hangat dengan telur balado dan tempe orek. Warga yang rumahnya kami tempati juga selalu menyiapkan air panas, kopi bubuk dan gula pasir buat kami nikmati sewaktu-waktu.
Keramahan warga bikin teman saya, Luthfi, bertanya-tanya. Tapi ia simpan pertanyaan itu sendiri dan bercakap-cakap dengan warga dan menggoda Aul sesekali. Mas Sis, salah satu warga, ikut-ikutan menggoda Aul, menyuruhnya menyanyikan Mars Gempadewa. Lagu itu berisi peringatan buat warga untuk terus menjaga tanahnya sampai mati, diciptakan tak lama setelah kabar tentang rencana penambangan di desa mereka tersiar. Tapi Aul enggan. Ia menolak dan hanya tercengir, meski beberapa kali disuruh.


Udara semakin dingin menusuk kulitku dan membuat badanku semakin lemas dan kebelet buang air. Aku pergi ke toilet yang terpisah dari rumah, terletak di belakang dapur. Memasuki kamar mandi, aku melihat seekor katak loncat-loncat di lantai seolah keramik yang diinjaknya adalah trampolin. Sambil menuntaskan hajat, aku menatap katak itu lamat-lamat.
Sebuah kalimat tanya menyembul di kepalaku, “Kapan terakhir kali kau melihat katak?” Pertanyaan itu mungkin terkesan norak dan mengada-ada. Tapi di tempatku tinggal saat ini, di Yogyakarta, kebanyakan jengkal tanahnya telah di jejal aspal kering. Tempat macam itu, setahuku, kurang ramah bagi amfibi tersebut, yang kebanyakan spesiesnya membutuhkan kelembapan.


Terasingnya katak di wilayah perkotaan ini betul-betul terjadi, disadari atau tidak. Dalam sebuah laporan jurnalistik berjudul Kepunahan Keenam: Sebuah Sejarah Tak Alami, Elizabeth Kobert menceritakan sebuah spesies katak punah di Panama.
Dua dekade lalu, tepatnya 2002, bermunculan bangkai-bangkai katak berwarna emasi di El Valla de Anton. Padahal, beberapa dekade sebelumnya katak emas panama, nama spesiesnya, masih sangat berlimpah di negara itu.


Ada banyak penyebab katak punah di sana. Salah satunya, pemanasan global yang kerap disebut tapi lebih sering kita abaikan. Bencana itu terjadi, menurut James Hansen, tak lain karena pembakaran batu bara, minyak dan gas yang terus beroperasi setiap hari, telah menyumbang 365 miliar ton karbon dioksida hingga kini. Adapun 180 miliar ton karbon dioksida juga diproduksi oleh pembalak hutan besar-besaran.


Segelintir data itu kiranya cukup masuk akal. Ia menyebabkan kepunahan 400 vertebrata, di antaranya adalah 146 jenis amfibi, di antaranya adalah katak-katak. Ini mungkin terkesan sepele. Namun kepunahan itu kini terjadi di depan mata kita, dan mungkin ada di depan mata warga Wadas.


Saya tak tahu bagaimana jelasnya habitat katak. Tapi ia berada tepat di depan mata saya ketika saya buang hajat, di dalam kamar mandi yang terletak dekat sungai dan pohon-pohon. Bukit Desa Wadas memang menyimpan banyak jenis pohon dam tumbuhan. Di sana juga mengalir air sungai yang panjang dan masih bersih.


Tempat ini saya kira, mestinya sangat pas untuk kehidupan, baik itu manusia atau katak-katak. Bukan dinamit. Bukan alat peledak yang bakal menghancurkan bukit dan menggerus tanah dan bikin longsor.
Saya berhenti menatap katak itu dan keluar kamar mandi dan kembali ke ruang tamu, menghisap rokok bersama warga. Aul, yang nampaknya juga terserang udara dingin, pergi ke kamar mandi dan kembali dengan ekspresi takut bercampur geli beberapa menit setelahnya. “Ada kodok, cicak sama kalajengking,” serunya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Saya tertawa. Memangnya kenapa, kata saya. “Seberapa sering kamu lihat kodok?” tanya saya lanjut, serius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun