Indonesia. Namun, bukan berarti gerak para terorisme tersebut berhenti. Mereka terus bergerak dibawah tanah, untuk menyebarkan propaganda radikalisme. Hanya saja, pola yang mereka lakukan tidak lagi dengan cara konvensional, seperti tatap muka, atau mencari tempat yang tersembunyi. Mereka sudah mulai melakukan secara digital, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.
Beberapa tahun belakangan ini, memang tidak ada aksi terorisme diSeiring dengan perkembangan zaman, penyebaran informasi begitu cepat dan mudah. Cara mengakses informasi pun juga semakin mudah. Hanya dengan smartphone atau laptop yang terhubung ke internet, kita bisa mendapatkan informasi apa saja. Apalagi di era kecerdasan buatan seperti sekarang ini, segala sesuatunya semakin mudah. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikal dan jaringan teroris, untuk terus melakukan propaganda radikalisme melalui jalur digital.
Di tahun 2023 lalu, Indonesia memang bebas dari aksi terorisme. Namun, aksi penangkapan jaringan teroris masih terjadi. Beberapa waktu lalu, 3 orang ditangkap di Malang, karena terindikasi berencana melakukan aksi bom bunuh diri di salah satu tempat ibadah. Dan lagi-lagi, mereka semua masih muda. Bahkan salah satunya masih berusia 19 tahun. Bagaimana mereka bisa terpapar dan berani melakukan aksi bom bunuh diri?
Pertanyaan diatas mungkin menjadi pertanyaan semua pihak. Para pelaku mengaku mengenal radikalisme dari media sosial. Dari sini saja sudah terlihat, aksi penyebaran paham radikali di media sosial masih terjadi dan efektif. Tak perlu melakukan doktrin secara langsung, masyarakat bisa terpapar dengan sendirinya, ketika mengakses paham menyesatkan tersebut di internet. Pihak yang berbeda masih dimaknai sebagai kafir. Dan aksi peledakan bom masih dimaknai sebagai jihad. Pemaknaan tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Sekali lagi, meski Indonesia bebas aksi terorisme di beberapa tahun kebelakang, ancaman masih nyata. Banyak pemuda yang mengalami swa radikalisasi, akibat terjebak dengan pergaulan yang salah. Terjebak informasi yang menyesatkan, dan terjebak pada iming-iming menegakkan agama Allah. Jika meninggal ketika melakukan aksi terorisme, akan masuk surga dan dijemput 72 bidadari. Narasi semacam ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Tapi nyatanya masih saja ada masyarakat khususnya anak muda yang meyakininya.
Karena itulah, menjadi tugas kita bersama untuk mencegah para generasi muda ini terpapar radikalisme di media sosial. Jangan biarkan anak-anak muda, menjadi generasi yang gemar menebar provokasi, menebar kebencian, dan menebar bom dimana-mana. Mari arahkan anak-anak muda ini agar menjadi generasi yang produktif, toleran dan tetap mengedepankan kearifan lokal. Hal ini penting agar generasi muda tidak lupa dengan budayanya sendiri.
Swa radikalisasi masih menjadi ancaman di semua negara termasuk Indonesia. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, membuat penyebaran radikalisme dunia maya juga semakin masif. Apalagi jaringan teroris seperti Al Qaeda dan ISIS pun, mulai memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memproduksi konten radikal. Mereka mulai menggunakan deepfake dan chatbot GPT, untuk memudahkan aksi mereka. Mari terus tingkatkan literasi, agar kita tidak mudah menjadi korban di era yang serba maju ini. Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H