Akar dari terorisme adalah radikalisme. Dan propaganda radikalisme di dunia maya dalam beberapa tahun terakhir begitu masif terjadi. Tak heran jika banyak masyarakat yang menjadi korban provokasi, akibat maraknya propaganda radikalisme. Jika kita melihat kondisi saat ini, banyak masyarakat yang mudah tersinggung, mudah marah, bahkan mudah menghakimi tanpa ada dasar yang jelas. Mereka semua minim literasi, tapi mudah mempercayai setiap informasi yang berkembang. Padahal informasi yang berkembang belum tentu kebenarannya.
Tanpa disadari, bibit radikalisme terus berkembang menyesuaikan perkembangan zaman. Salah satunya adalah maraknya ujaran kebencian. Siapa yang sangka kebencian yang berlebihan itu bisa memicu munculnya bibit radikalisme dalam diri. Sadar atau tidak, saat ini banyak diantara kita saling memutuskan tali silaturahmi, hanya karena perbedaan. Entah itu perbedaan pandangan, pilihan politik, atau keyakinan.Â
Padahal, kita semestinya tidak lagi mempersoalkan perbedaan yang ada. Kenapa? Karena perbedaan pada dasarnya adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak.
Karena kebencian yang membabi buta itulah, propaganda radikalisme akan mudah masuk ke dalam pikiran. Jika pikiran kita sudah terpapar, maka cara pandang kita terhadap sesuatu pun akan berubah. Mind set nya selalu mencari kesalahan atau kejelekan, tanpa mempertimbangkan sisi baiknya.Â
Banyak yang menggunakan kacamata pribadi atau kelompok, padalah kacamata yang lebih luas akan mempunyai view yang berbeda. Dan jika kebencian ini terus dipelihara, akan memicu munculnya eksklusivisme dalam diri. Dan hal itu merupakan salah satu karakter dari radikalisme.
Perlu strategi bersama, untuk meminimalisir peredaraan radikalisme di media sosial. Indonesia mempunyai badan khusus yang bertugas untuk meminimalisir peredaran radikalisme dan terorisme. Badan tersebut diberi nama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).Â
Namun pada prakteknya, pemberantasan radikalisme dan terorisme tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke BNPT. Perlu ada Kerjasama sama pihak. Mulai dari pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, media massa dan masyarakat. Termasuk di dalamnya para pegiat seni dan budaya. Dengan adanya keterlibatan para pihak ini, diharapkan bisa semakin massif, dan masyarakat bisa melihat dari berbagai sisi.
Selama ini, seringkali masyarakat melihat radikalisme dari satu sisi saja. Yaitu dari oknum seseorang yang mengaku paham agama. Dengan diberi contoh ayat yang tidak dipahami secara utuh, membuat segalanya jadi tidak utuh.Â
Misalnya saja ketika dihadapkan pada ketidakadilan, lalu solusinya adalah jihad. Karena pemahaman dan cara pandangnya sudah salah, jihad yang kemudian muncul dengan cara-cara kekerasan atau meledakkan diri, seperti yang dicontohkan oleh kelompok teroris.