Politik identitas jelas tidak membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Cara pandang yang muncul pun hanyalah berasal dari sudut yang mereka ingingkan saja. Pihak yang berseberangan, dianggap bertentangan dan salah. Padahal hal yang dianggap salah tersebut merupakan hal yang tidak substansial. Seperti berbeda pilihan politik, berbeda pandangan, atau berbeda keyakinan. Karena perbedaan yang dianggap sebagai kesalahan tersebut, seakan bisa dijadikan legitimasi untuk menyalahkan, mengucilkan, bahkan ada juga yang merasakan persekusi.
Menguatnya politik identitas ini memang tak bisa dilepaskan dari tahun politik beberapa waktu lalu. Politik primordialisme bertemu dengan bibit kebencian dan radikalisme, melahirkan masifnya ujaran kebencian dimana-mana. Tidak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata. Tanpa disadari, menguatnya politik identitas yang berujung pada kebencian ini, telah menguatkan bibit intoleransi dan radikalisme. Ketika provokasi demi provokasi terus bermunculan, maka yang terjad adalah tindakan intoleran seperti persekusi. Bahkan jika pada titik tertentu melahirkan tindakan teror.
Karena itulah, mari kita hentikan politik identitas. Mari kita hilangkan anggapan Jawa non Jawa, pribumi pendatang, atau sebutan etnis tertentu. Mari kita belajar dari kasus rusuh di Papua beberapa bulan lalu. Berawal dari ungkapan rasis, lalu terus dimunculkan di media sosial, sampai akhirnya melahirkan kemarahan kolektif. Masyarakat yang tidak melakukan cek ricek lagi, langsung mempercayai sampai akhirnya menyebabkan kemarahan masyarakat. Dampaknya tidak hanya kerusakan fisik bangunan, tapi juga adanya korban luka ataupun jiwa.
Contoh diatas diharapkan tidak terjadi lagi di negeri ini. Stop saling klaim antar sesama. Hilangkan mayoritas minoritas. Tanpa Papua, tidak aka nada Indonesia. Tanpa Dayak, tanpa Labuan Bajo, tanpa Aceh, bahkan tanpa desa di salah satu provinsi pun, tidak akan ada Indonesia. Semuanya berkontribusi menjadi Indonesia. Semuanya mempunyai peranan penting di daerahnya masing-masing. Semuanya mempunai hak dan kewajiban yang sama. Sekali lagi, mari introspeksi dan hilangkan politik identitas yang berpotensi melahirkan konflik di tengah masyarakat.
Bukankah lebih indah Indonesia bersatu. Saling berdampingan dalam keragaman, sejatinya sudah diajarkan oleh para pendahulu kita. Nilai-nilai kearifan lokal yang diajarkan orang tua sejak kecil, harus terus diimplementasikan sampai kita dewasa dan tua nanti. Dengan kearifan lokal itulah yang akan melahirkan kepedulian bukan kebencian. Dari toleransi itulah yang melahirkan cinta kasih, bukan pilih kasih. Saatnya menebar pesan damai dan saling mengingatkan, bahwa saling bergandengan tangan demi Indonesia satu harus dilakukan semua pihak. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H