Baru-baru ini, publik kembali dikejutkan penangkapan jaringan terorisme di Sibolga, Sumatera Utara. Kelompok teroris jaringan jamaah anshorut daulah (JAD) ini berafiliasi dengan kelompok ISIS. Setelah pihak polisi menangkap Abu Hamzah, polisi juga menangkap 3 orang perempuan yang diduga terkait kelompok ini.
Salah satu perempuan tersebut adalah Solimah, istri dari Abu Hamzah. Menurut keterangan polisi, istri Abu Hamzah ini dikenal jauh lebih radikal dibandingkan sang suami. Sang istri lebih memilih meledakkan diri, dari pada ditangkap oleh polisi.
Keberadaan perempuan di pusaran terorisme ini, memang bukanlah hal yang baru. Dalam kasus ledakan bom di Surabaya yang diledakkan satu keluarga misalnya, sang istri bahkan juga turut mengajak anak-anaknya untuk melakukan ledakan.
Jika dulu perempuan berada di belakang layar, kini para perempuan radikali ini berani maju ke depan melakukan aksi teror. Keterlibatan perempuan yang ramai jadi perbincangan ketika itu adalah Dian Yulia Novi, yang berhasil ditangkap sebelum menjalankan melakukan aksi teror di istana negara.
Bisa jadi, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme ini merupakan hal baru di era sekarang ini. Kenapa perempuan dipilih untuk terlibat? Bisa jadi karena perempuan dinilai lebih setia dan penurut. Apalagi jika perintah tersebut langsung dari suami.
Meski para perempuan ini rawan menjadi korban dari suami yang radikal, para perempuan juga punya peranan penting untuk menangkal bibit radikal. Umumnya, ibu mempunyai waktu yang lebih banyak dibandingkan bapak ke anaknya. Karena itulah seorang ibu mempunyai peranan yang sangat besar, untuk memutus mata rantai radikalisme di tingkat keluarga.
Kasus bom Surabaya, merupakan bentuk bahwa upaya memutus bibit radikalisme di tingkat keluarga tidak berjalan. Hanya karena keyakinan yang salah, anak-anak yang tak berdosa pun jadi ikut menjadi korban.
Seperti kita tahu, penyebaran bibit radikal saat ini begitu masif terjadi melalui media sosial. Sedangkan media sosial saat ini merupakan salah satu tempat yang menyenangkan bagi anak-anak kita, ketika beraktivitas di dunia maya.
Banyak contoh kasus anak-anak terpapar radikalisme melalui media sosial. Bahkan, rata-rata pelaku terorisme saat ini juga mengaku terpapar radikalisme melalui internet. Karena disebar melalui internet, akhirnya mempengaruhi anak-anak muda untuk mengikutinya. Dan hal ini masih terjadi hingga saat ini.
Karena itulah, jangan anggap remeh penyebaran ujaran kebencian dan kebohongan yang juga marak saat ini. Karena kebencian dan kebohongan yang tak terkendali, akan lebih mendekatkan diri pada perilaku radikal dan intoleran.
Untuk itulah, para ibu jangan biarkan anak-anaknya. Tetap dampingilah anak-anak dalam kondisi apapun. Jangan biarkan anak terlalu lama sendirian di kamar, ajaklah anak terus berkomunikasi agar anak aktif menceritakan apa yang telah dialaminya di luar rumah.
Jika anak bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang lebih di rumah, mereka tak akan mencari hal yang aneh-aneh diluar rumah. Apalagi jika di antara kita mempunyai anak remaja, yang masih berproses mencari jati diri. Harus terus diperhatikan agar tidak tersasar ke jalan yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H