Belakangan ramai mengenai polemik mengenai cadar. Sebagian masyarakat mempersoalkan larangan cadar yang diterapkan oleh salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Namun tidak sedikit yang memberikan dukungan. Alasannya, cadar bukanlah tradisi Islam dan masyarakat Indonesia. Namun, karena masyarakat Indonesia cukup toleran, jika masyarakat yang ingin mengenakan cadar seperti masyarakat di timur tengah, juga tidak ada persoalan.
Karena itu bagian dari hak masyarakat dalam berekspresi. Dan sayangnya, tidak sedikit pula yang menganggap bahwa cadar adalah budaya Islam. Padahal, berbagai literatur mengatakan bahwa cadar merupakan tradisi masyarakat timur tengah. Dan salah satu faktor kenapa masyarakat disana menggunakan cadar adalah karena kondisi lingkungan yang berada di gurun.
Sayangnya, tidak sedikit dari masyarakat yang menggunakan polemik ini untuk memperkeruh suasana. Apalagi saat ini merupakan tahun politik. Bisa jadi hal ini digunakan oleh oknum tertentu untuk menyerang pemerintah. Pemerintah dianggap tidak islami jika masih belum 'berpihak'.
Di media sosial, pemerintah seringkali jadi sasaran tembak karena dianggap tidak berpihak terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Anggapan ini tentu tidak berdasar. Bukan bermaksud memihak si A atau B, kenyataannya isu toleransi masih belum sepenuhnya berjalan. Ketika ada pemimpin yang non muslim misalnya, tak jarang langsung mendapatkan penolakan. Hanya karena berbeda keyakinan, provokasi itu langsung begitu masif. Lalu, dimana toleransi itu?
Mari kita tinggalkan polemik cadar ini. Mari kita saling introspeksi. Toleransi merupakan budaya asli Indonesia. Semua suku yang tersebar dari Aceh hingga Papua, semuanya mempunyai semangat saling menghormati antar sesama. Semuanya bisa hidup berdampingan, tanpa mempersoalkan apa latar belakang budaya dan keyakinan. Keberagaman itulah yang kemudian membuat Indonesia sebagai negeri yang kaya.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, semestinya saling menghomati terhadap tradisi dan budaya lokal tetap terjaga. Karena dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia juga dengan cara-cara yang santun, tidak pernah menghilangkan budaya lokal, bahkan saling akulturasi satu sama lainnya. Mari kita ingat ketika Wali Songo masuk dan menyebarkan Islam di tanah Jawa.Â
Tidak ada terlihat dengan cara-cara kekerasan. Bahkan masyarakat yang ketika itu sudah memeluk Hindu, Budha dan aliran kepercayaan, tetap dibiarkan. Karena penyebarannya dengan cara santun, akhirnya masyarakat pun banyak yang memilih menjadi muslim. Nah, jika seorang muslim merasa keberagaman itu sebagai sebuah persoalan, mereka harus belajar dari sejarah dan melakukan introspeksi.
Dalam keberagaman Indonesia, tersimpan keanekaragaman budaya lokal. Dan kebudayaan itu harus tetap dijaga dan dilestarikan. Meski jumlah muslim terbesar di Indonesia, bukan berartu budaya-budaya lokal yang menyimpan banyak tradisi, harus ditinggalkan. Sekali lagi, mari kita belajar dari apa yang ditunjukkan oleh Wali Songo.
Tidak hanya mengajarkan bagaimana sopan santun dan budi pekerti, masyarakat juga diajak untuk memahami Islam dengan cara yang asyik. Melalui music, memahat, wayang dan masih banyak seni tradisi lainnya. Dan ingat, tidak ada satupun yang menggunakan kekerasan.
Karena itulah, mari saling introspeksi diri. Jangan merasa sebagai mayoritas, merasa segala sesuatunya harus berdasarkan kepentingan mayoritas. Ingat, diantara mayoritas juga ada minoritas yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dalam mayoritas, perbedaan pendapat, pandangan, keyakinan dan tradisi merupakan hal yang lumrah. Silahkan berekspresi berdasarkan keyakinan, tapi jangan sampai kebebasan berekspresi itu justru disalahgunakan, dengan menyebarkan bibit intoleransi dan radikalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H