Perkembangan Indonesia menjadi sebuah negara, tidak bisa dilepaskan dari peran generasi muda. Dan ketika berbicara mengenai generasi muda, tentu tidak bisa dilepaskan pula dari semangat yang berapi-api, inovasi, keberanian dan tentu saja kesadaran untuk memerdekakan bangsanya.Â
Hal ini juga terlihat ketika mulai muncul berbagai macam organisasi, yang digagas oleh generasi muda. Sebut saja seperti Syariat Dagang Islam, lalu Boedi Oetomo yang kemudian menjadi tonggak kebangkitan. Pada titik inilah kemudian muncul semangat kesetiakawanan diantara kaum muda. Semangat yang dibangun tidak lagi primordialisme, tapi sudah berkembang menjadi semangat nasionalisme bangsa.
Memupuk semangat kesetiakawanan melalui organisasi ini, menumbuhkan kesadaran pentingnya untuk merdeka. Perjuangan yang awalnya didasarkan pada ego kesukuan, hilang atas sebauah kesadaran yang nyata.Â
Bahwa perjuangan untuk merebut kemerdekaan tidak akan terwujud, jika masih mengedepankan semangat memikirkan kesukuan, primordialisme, atau kelompok tertentu. Belajar dari sejarah tersebut, semestinya generasi milenial saat ini, bisa mengambil hikmah dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tak dipungkiri, tantangan jaman antar generasi berbeda. Tantangan di era kemerdekaan, era reformasi, hingga era milenial seperti sekarang tentu juga berbeda. Generasi saat ini tidak hidup di era penjajahan. Mereka hidup di era ketika teknologi sudah tumbuh begitu pesat. Teknologi telah membuat mereka mengurangi intensitas pertemuan.Â
Faktor ini pula yang membuat kesetiakawanan antar generasi muda, berbeda dengan era kemerdekaan. Dulu semua orang satu suara untuk mengusir ketidakadilan dalam bentuk penjajahan. Sekarang, penjajahan memang tidak ada. Tapi bentuk dari ketidakadilan itu bermacam-macam. Namun tidak semua satu suara untuk mengusir ketidakadilan tersebut. Tidak ada rasa senasib sepenanggungan.
Isu radikalisme dan terorisme misalnya. Ancaman itu begitu nyata bagi Indonesia. Dampak yang ditimbulkan juga tidak bisa dianggap remeh. Banyak generasi muda meninggal menjadi korban radikalisme. Banyak trauma berkepanjangan akibat terorisme. Tapi jika kondisi dianggap 'aman' semua orang diam.Â
Hanya sebagian orang saja yang aktif dalam melakukan pencegahan terhadap radikalisme. Ketika ada kejadian bom, semua orang baru teriak saling menyalahkan. Hal semacam ini semestinya tidak akan terjadi, jika kesetiakawanan diantara kita terjalin. Jika rasa saling peduli antar sesama terjalin. Tidak boleh merasa paling benar, sampai akhirnya melahirkan sikap yang indvidualis dan eksklusif.
Untuk itulah, perlu komitmen bersama untuk merekatkan kesetiakawanan sosial antar generasi. Perkembangan media sosial, yang sering dijadikan sebagai alat provokasi, harus dikembalikan menjadi alat edukasi.Â
Media sosial harus sering menebarkan pesan damai dan menguatkan semangat kesetiakawanan sosial. Bikinlah status yang edukatif, bukan yang provokatif. Sehingga akan muncul kesadaran bersama, bahwa saling menghujat, saling membenci, atau saling melakukan permusuhan, merupakan tindakan yang justru menjauhkan dari rasa saling peduli.
Dalam kehidupan nyata, generasi milenial juga harus meniru semangat Boedi Oetomo. Semua pemuda dari berbagai belahan nusantara, berkumpul untuk memikirkan nasib Indonesia. Mereka saling bertukar pikiran, dan tidak mempersoalkan perbedaan suku, agama dan golongan.Â