Melihat beberapa hari kebelakang kemarin, kita dapat melihat antusiasme warga masyarakat di wujudkan dengan berbagai hal. Seperti: kegiatan warga palangkaraya terkait GMT berpusat di stadio sanaman Mantikei. Di lokasi tersebut, selasa ini, digelar tarian kolosal 150 penari untuk menyambut GMT. Pawai budaya etnik Nusantara di kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), mulai dari suku asli Sulteng, mulai dari suku Minahasa dari Sulawesi Utara. Lalu di Bandung, Jawa Barat, antusiasme warga diwujudkan dengan seri khusus GMT 2016. Di Balikpapan, Kalimantan Timur, untuk memeriahkan GMT sekaligus HUT ke 119 Kota Balikpapan, ada kegitan pemecahan rekor lembaga Perstasi Indonesia – Dunia (Leprid) untuk memakan mantau terbanyak, yakni 2.119 buah. Kegiatan ini dilakukan setelah GMT terjadi. Serta bagi pecinta fotografi , peristiwa GMT ini menjadi ajang bagi mereka untuk mencari dan berburu foto paling menarik dan unik. (kompas, 8 Maret 2016)
Masih perlu di diskusikan
Kejadian pada Orde baru (tepatnya pada pemerintahan bapak Soharto) masyarakat mendapatkan sejenis Hegemoni (pengaruh) yang yang berhasil mempengaruhi seluruh kalangan dari segala tingkatan. Yang hingga detik ini hegemoni yang diungkapakan dulu masih turun temurun di warisi. Saya mengatakan hal ini dikarenakan masih adanya masyarakat yang percaya bahaya GMT yang dikatakan 33 tahun silam. Yang mencengangkan, masih ada saja masyarakat yang takut keluar di saat gerhana matahari, meski di daerah mereka bukanlah lintasan GMT.
Seperti pengakuan seornang senior yang tengah melakukan KKN tematik di Daerah Lombok Tengah, tepatnya di daerah Perina. Saat keluar mencari bahan makanan hari rabu 9 maret lalu, yang ditemukan hanya pasar sepi. Salah seorang yang pada saat itu berada di sekitar pasar, mengatakan kegiatan perdagangan tidak dilakukan karena takut akan gerhana matahari ungkapnya.
Lihatlah bagaimana sebuah hegemoni sang penguasa mempengaruhi hingga ke generasi yang melek teknologi. Hal ini terjadi akibat kurangnya sosialisasi dan pengenalan ilmu itu sendiri. Saya berkat demikian karena memang, pada lingkungan masyarakat yang masih berada di pedesaan, hal semacam ini merupakan sebuah hal yang wajar. Dimana masyarakat enggan untuk keluar rumah hanya karena takut akan berbagai macam hal buruk yang akan terjadi ketika berlangsunnya GMT. Berbeda dari masyarakat yang mengenal teknologi dan berdada di perkotaan.
Sempitnya pemikiran masyarakat tentang gerhana matahari itu membuat saya pribadi merasa kecewa, karena saat saya menyaksikan sendiri gerhana matahari 9 maret lalu sangat menakjubkan. Meski daerah NTB hanya di litasi setengah dari gerhana matahari. Pengetahuan dan pemahaman yang rendah ini menyebabkan warga didaerah tempat tinggal saya masih takut dan parno’ saat gerhana matahari melintas. Sebenarnya, hal semacam ini dapat kita antisipasi sebagai generasi melek tekhnologi serta pemerintah dengan membantu memberi pemahaman kepada masyarakat melalui pendekatan keseharian, dengan ikut berbincang dan berbaur dengan masyarakat. Bisa juga melalui penyuluhan di setiap desa, sekolah dan dusun-dusun bila perlu. Dan juga perlu menggunakan bahasa yang tidak terlalu kaku, agar lebih mudah di mengerti. Mengapa? karena kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak semua masyarakat memiliki tekhlologi yang bisa mengakases informasi tentang berbagai hal ini.
Ketakutan yang sudah terhegemoni dari berpuluh tahun lalu akan tetap di warisi turun temurun, jika dari kita tidak melakukan peruahan. Dan terlepas dari pemerintah yang harus melakukan sosialisasi, kita sebagai pemuda pemudi dapat di melakukannya dari hal kecil, yakni pemberian pemahaman kepada keluarga sendiri barulah beralih ke teman sebaya dan adik-adik kita yang sering bermain di sekitar rumah.
Â
Refrensi bacaan.
Gerhana Matahari dan Dendam Si Buto - Kompas.com (
Gerhana matahari antara mitos dan sains - BBC Indonesia.com