Mohon tunggu...
SRE UB
SRE UB Mohon Tunggu... Mahasiswa - Society of Renewable Energy Universitas Brawijaya

Society of Renewable Energy Universitas Brawijaya or known as SRE UB is a student organization that establish the awareness of students in Universitas Brawijaya about renewable energy development in Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Limbah Kulit Buah Bit (Beetroot) Bisa Tingkatkan Efisiensi Dye Sensitized Solar Cell

31 Januari 2023   18:07 Diperbarui: 31 Januari 2023   18:13 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan pastilah terdiri atas sumber daya alam seperti air, udara, tanah, energi surya, mineral, flora, dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan. Salah satu faktor yang mempengaruhi lingkungan adalah masalah pembuangan dan pengelolaan sampah. Tidak dapat dipungkiri jika negara berkembang seperti Indonesia selalu melakukan pembangunan yang menghasilkan limbah. Survey yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan 32,82 juta ton sampah dan sebanyak 37,3% sampah tersebut merupakan sampah rumah tangga. Berdasarkan jenisnya 39,8% sampah yang dihasilkan masyarakat berupa sisa makanan, sementara sampah plastic berada di urutan berikutnya dengan persentase sebesar 17%. Sampah atau limbah yang berhasil dikelola sepanjang tahun 2019 sebanyak 55,87%. Pada tahun 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat jumlah sampah di Indonesia telah menurun sebanyak 33,33% dari tahun sebelumnya menjadi 21,88 juta ton dan berdasarkan sumbernya limbah rumah tangga menyumbang sebesar 42,23%. Ini menunjukkan bahwa limbah rumah tangga masih merupakan penghasil limbah terbesar di Indonesia. Dampak limbah rumah tangga terhadap lingkungan perlu mendapat penanganan dari pemerintah seperti memberikan aturan yang jelas dan tegas tentang lingkungan hidup serta mensosialisasikan kepada masyarakat. Sebagian besar limbah rumah tangga berasal dari hasil samping sayuran dan buah-buahan yang tersisihkan, sehingga disebut sebagai limbah organik. Dikutip dari Hasibuan (2016), limbah sayuran yang mempunyai kandungan pigmen warna, mampu mencemari lingkungan dikarenakan kandungan antosianin maupun betasianin yang menjadi karakteristik pewarna organik yang susah dihilangkan. Salah satu tumbuhan yang memiliki kriteria tersebut adalah tanaman dari family amaranthaceace yakni umbi bit merah (Beta Vulgaris L.) dengan nama lain beet root. Berdasarkan Data Statistik Produksi Tanaman Pangan Indonesia Tahun 2010-2022, produksi umbi bit rata-rata mencapai 10 ton perhektar. Perolehan produksi tanaman umbi bit (beetroot) yang sangat tinggi secara otomatis meningkatkan residu limbah bit (beetroot) pula (Meridianto, 2013). Selain itu, umbi bit (beetroot) banyak digunakan sebagai bahan pembuat gula pada industri, sehingga limbah yang dihasilkan juga terlampau banyak (Wibawanto et.al, 2014). Dengan begitu, potensi antosianin, betasianin, dan klorofil yang terdapat pada limbah bit (beetroot) dapat digunakan sebagai alternatif substitusi dye pada DSSC, sekaligus dapat meningkatkan efisiensinya. Hal tersebutlah yang diungkap pada riset ini. 

Tujuan dari riset yang dilakukan adalah mengurangi tingkat pencemaran limbah khususnya limbah rumah tangga organik seperti sayuran dan buah, salah satunya limbah umbi bit merah (beetroot). Diharapkan juga dengan inovasi yang dilakukan dapat menaikkan nilai jual dari limbah umbi bit merah (beetroot) sebagai zat pewarna pada Solar Cell generasi ketiga yaitu Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC). DSSC sendiri memanfaatkan prinsip fotoelektrokimia sehingga memberikan biaya produksi yang lebih terjangkau dibandingkan pendahulunya. Zat warna pada DSSC atau dye akan menjadi medium transfer pembawa muatan listrik,sehingga semakin banyak sumber zat warna yang dapat digunakan akan membuka peluang besar dalam pengembangan teknologi sel surya di Indonesia.

Penjelasan Mengenai Mekanisme dan Keunggulan DSSC

DSSC merupakan sel surya generasi ketiga sebagai alternatif dalam pembuatan sel surya dengan potensi kinerja yang tinggi. DSSC memiliki struktur yang tersusun dari 5 komponen utama, yaitu Transparent Conductive oxide (TCO), lapisan semikonduktor, dye sensitizer, elektrolit (Iodida / Tri-Iodida), dan elektroda berlawanan (karbon atau platinum). DSSC mampu bekerja pada sinar tampak yang merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 400 -- 750 nm. DSSC tidak dapat menyerap cahaya gelombang ultraviolet (< 400 nm) dan gelombang inframerah (>750 nm) (Gratzel, 2003). Keuntungan penggunaan DSSC dibanding dengan sel surya jenis lainnya, yaitu mudah dalam fabrikasi dan fitur estetika yang dapat dimodifikasi, seperti warna dan transparansi. Selain itu, DSSC memiliki tampilan transparan, portabilitas yang sangat baik, mudah ditemukan, ramah lingkungan, mudah diekstraksi, tidak perlu pemurnian lebih lanjut, warna yang beragam, energi masukan rendah, efisiensi tinggi, penyerapan yang stabil, biaya produksi murah termasuk pengolahan biaya nonvacuum pada suhu kamar, dan bermassa ringan (Sutikno et al., 2016).

Prinsip kerja DSSC diawali ketika sinar matahari jatuh ke permukaan sel yang diserap oleh dye yang sensitif terhadap sinar matahari sehingga elektron dari pewarna dapat tereksitasi dan menuju ke lapisan semikonduktor yang kemudian dialirkan ke kabel melalui lapisan tipis FTO. Sedangkan, dye yang kehilangan elektron digantikan oleh donor elektron dari larutan elektrolit iodin melalui reaksi redoks dengan lapisan tipis karbon sebagai katoda.

Penjelasan Mengenai Dye Pewarna Alami pada DSSC

 Beberapa senyawa alami yang kerap digunakan sebagai dye pewarna adalah antosianin dan klorofil. Antosianin merupakan suatu zat warna merah dasar yang memiliki puncak absorbansi pada panjang gelombang sekitar 520 nm sampai 550 nm, sedangkan klorofil sendiri merupakan suatu zat warna hijau memiliki puncak absorbansi pada panjang gelombang sekitar 420 nm sampai 660 nm (Fistiani, et al., 2017). Kedua senyawa tersebut dapat dengan ditemukan pada berbagai jenis tanaman dan untuk memperolehnya dapat dilakukan melalui proses ekstraksi. DSSC untuk dye klorofil dan antosianin dapat disimpulkan model yang diajukan dalam penelitian ini memiliki akurasi yang baik. Model yang diajukan yaitu dari sirkuit elektronik ekuivalen DSCC dengan menggunakan model satu dioda. Melalui komparasi antara model dengan eksperimen diperoleh bahwa dye klorofil memiliki parameter pemodelan yang lebih besar dibandingkan dye antosianin.

Pada DSSC terdapat komponen senyawa ruthenium yang berperan menjadi devais pada proses fotosensitizer untuk mengubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik. DSSC  dengan  dye  ruthenium  sudah  mencapai  efisiensi  yang  tinggi,  lebih  dari  13% (Simon, dkk., 2014). Kelemahan DSSC dengan dye jenis ruthenium adalah  jumlahnya sedikit  di  alam  dan  tidak  ramah  lingkungan  karena  beracun,  sehingga  menjadi pertimbangan  untuk  diaplikasikan pada DSSC dalam skala besar. Dye  yang  ramah lingkungan dan melimpah di alam, seperti dye dari bagian daun, biji, buah, batang dan akar  tanaman  menjadi  pilihan  alternatif  sebagai  sensitiser  pada DSSC (Kimpa, dkk., 2012). Zat-zat seperti klorofil, betakaroten, antosianin, tanin, kurkumin, dan sebagainya pada tumbuhan dapat diaplikasikan sebagai sensitiser. Berdasarkan hal tersebut, pertimbangan kami memilih ekstrak umbi bit (beetroot) merupakan alternatif yang tepat dalam substitusi bahan yang ramah lingkungan sebagai pengganti dye komersial.

Zat pewarna yang terkandung dalam serat tumbuhan diyakini mampu membantu penyerapan cahaya tampak dengan panjang gelombang yang berkisar antara 400-740nm. Akan tetapi, penggunaan DSSC yang maksimal terhadap sinar UV sedikit menimbulkan kesulitan. Maka dari itu, penggunaan bahan alami seperti ekstrak warna umbi bit (beetroot) yang memiliki pigmen warna merah keunguan yang menyala sangat dibutuhkan. Hal tersebut didukung oleh riset yang membuktikan bahwa penggunaan tanaman dengan pigmen warna merah, kuning, biru dan ungu memiliki tingkat absorpsi cahaya tampak yang cukup baik dengan interval 400-660nm, diperoleh dari ekstrak annatto, plum hitam, kunyit merah, bayam merah dan kaktus (Joseph, Shibu et al., 2021). Zat warna yang terkandung dalam tanaman tersebut bereaksi ketika dilakukan uji FT-IR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) dengan memancarkan spektrum melalui peregangan tiap gugus fungsinya yang menunjukkan adanya perubahan vibrasi yang cukup signifikan.

Penjelasan Keunggulan Ekstrak Kulit Buah Bit (Beetroot) sebagai Dye Organik Pewarna pada DSSC

Uji UV-Vis (Ultraviolet Visual) juga dilakukan untuk mengukur penyerapan sinar ultraviolet oleh zat kimia. Selain itu, kadar klorofil umbi bit dapat meningkatkan absorpsi terhadap sinar matahari, sehingga berpengaruh pada kinerja DSSC. Hal tersebut didukung oleh penelitian penyerapan sinar ultraviolet, dimana untuk bayam merah yang memiliki pigmen warna sama dengan limbah kulit umbi bit (beetroot), terbukti memiliki tingkat absorpsi sebesar 430-662nm karena kandungan klorofil yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang mengandung pigmen berwarna merah/ungu memiliki daya serap sinar UV yang lebih baik dibandingkan dengan jenis tanaman berwarna lainnya. Pernyataan tersebut didukung oleh data panjang gelombang cahaya tampak dengan persebaran spektrum warna yang bervariasi.

Penggunaan ekstrak beetroot sebagai dye material juga menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan. Sebuah penelitian membandingkan efektivitas ekstrak beetroot (Beta vulgaris) dan daun henna (Lawsonia inermis) menggunakan percobaan UV-Vis Spektroskopi dan perhitungan efisiensi DSSC. Tercatat bahwa ekstrak beetroot mampu menyerap sinar UV lebih baik dibandingkan ekstrak daun henna akibat kandungan senyawa betasianin. Betasianin sendiri merupakan kelompok alkaloid yang larut dalam air dan bersifat mutual eksklusif dengan antosianin. Hal ini lah yang menyebabkan keduanya tidak pernah berada dalam satu tanaman yang sama. Oleh karena itu, betasianin dapat digunakan sebagai pengganti antosianin sebab keduanya tidak menimbulkan reaksi penolakan jika digunakan bersama. Selain itu, hasil voltase listrik oleh ekstrak beetroot juga ditemukan lebih tinggi dibandingkan ekstrak daun henna. Hal tersebut didukung oleh grafik linear di bawah yang menunjukkan grafik penyerapan sinar UV menggunakan TiO2 dan Natural Dye Material serta grafik perbandingan waktu dan voltase DSSC.

Gambar 1. Grafik Penyerapan Sinar UV Menggunakan TiO2 dan Natural Dye Material (Sathyajothi et al., 2017)
Gambar 1. Grafik Penyerapan Sinar UV Menggunakan TiO2 dan Natural Dye Material (Sathyajothi et al., 2017)

Gambar 2. Perbandingan Waktu dan Voltase DSSC
Gambar 2. Perbandingan Waktu dan Voltase DSSC

Dalam mendukung serta menunjang pembangunan berkelanjutan, inovasi ini turut berkontribusi dalam mewujudkan Sustainable Development Goals 2030, terutama pada poin 7, 9, 13, dan 15.  Pada poin 7 yaitu energi bersih dan terjangkau dengan riset DSSC ini diharapkan dapat menciptakan pengembangan sumber daya energi yang berkelanjutan melalui substitusi limbah buah bit (beetroot) sebagai dye alami. Hal tersebut menjadikan inovasi ini menjadi alternatif energi terbarukan melalui penerapan teknologi modern yang dapat diandalkan bagi kalangan masyarakat. Kemudian pada poin 9 yakni industri, inovasi, dan infrastruktur melalui riset ini diharapkan dapat membantu perkembangan inovasi dan kebaruan yang sebelumnya tidak ada penerapan yang sama. Selain itu, adanya penggunaan DSSC dapat mendukung industri yang inklusif dan berkelanjutan melalui alternatif dan penggunaannya dalam industri baru. Adanya penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan secara langsung dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga dapat mendukung tujuan poin 13. Terakhir dalam poin 15 menjaga ekosistem darat dari penumpukan limbah organik yang memiliki sifat mencemari lingkungan.

Keberhasilan dalam penggunaan bahan alami sebagai dye material tentu saja membawa manfaat bagi lingkungan, terutama sebagai penghasil energi baru terbarukan melalui pengolahan sampah organik. Beberapa tanaman dengan pigmen warna yang seragam dapat digunakan secara bersama untuk membantu meningkatkan nilai efektivitas penyerapan sinar UV dan voltase listrik tanpa berketergantungan dengan bahan kimia. Begitu juga dengan koefisien serapan molar yang lebih besar. Hal ini tentu akan menekan biaya fabrikasi yang begitu tinggi dan mempercepat akselerasi transmisi energi terbarukan. Akan tetapi, permasalahan mengenai performa fotoelektrik yang dimiliki DSSC berbahan dasar natural dye material dengan short circuit density dan open-circuit voltage perlu lebih diperhatikan. Akibatnya adalah sambungan listrik yang tidak lancar dapat mengakibatkan konsleting dan berbahaya bagi masyarakat. Maka dari itu, perlu diadakan studi lebih lanjut mengenai pemanfaatan natural dye material terhadap DSSC baik dari segi keamanan dan keberlangsungannya.

DAFTAR PUSTAKA :

FARIDAH, Anni; HOLINESTI, Rahmi; SYUKRI, Daimon. Identifikasi pigmen betasianin dari kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus). Jurnal. Fakultas Teknik, Universitas Negeri Padang. Sumatera Barat, 2014.

Fistani, M. D., Nurosyid, F., & Suryana, R. (2017). Pengaruh Komposisi Campuran Antosianin-Klorofil sebagai Fotosensitizer terhadap Efisiensi Dye Sensitized Solar Cell. Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 19-22.

Gratzel, M., Dye Sensitized Solar Cells, Journal of Photochemistry and Photobiology C, Photochemistry reviews, 2003, vol. 4: 145-153.

Hasibuan, R. (2016). Analisis Dampak Limbah/Sampah Rumah Tangga Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup. Jurnal Ilmiah "Advokasi" Vol. 04, No. 01, 42-52.

JOSEPH, Shibu, et al. Performance of Natural Dye Extracted from Annatto, Black Plum, Turmeric, Red Spinach, and Cactus as Photosensitizers in TiO2NP/TiNT Composites for Solar Cell Applications. Journal of Nanomaterials, 2021, 2021.

Kimpa, I.M., Momoh, M., Isah, U.K., Photoelectric Characterization of Dye sensitized Solar Cells Using Natural Dye from Pawpaw Leaf dan Flame Tree Flower as Sensitizers, Materials Sciences and Applications, 2012, Vol. 3: 281-286.

Mahdi, M. I. (2022, February 21). Mayoritas Sampah Indonesia Berasal dari Rumah Tangga. Retrieved from DataIndonesia.id: https://dataindonesia.id/ragam/detail/mayoritas-sampah-indonesia-berasal-dari-rumah-tangga

Mathew, Simon, Aswani Yella, Peng Gao, Robin Humphry-Baker, Basile F.E. Curchod, Negar Ashari-Astani, Ivano Tavernelli, Ursula Rothlisberger, Md Khaja Nazeeruddin, and Michael Grtzel. 2014. "Dye-Sensitized Solar Cells with 13% Efficiency Achieved through the Molecular Engineering of Porphyrin Sensitizers." Nature Chemistry 6 (3): 242--47.

Natalita M., N., Muliani, L., & Hidayat, J. (2011). Sel surya dye-sensitized TiO2: Fabrikasi dan analisa material elektrolit. Bandung: PPET-LIPI.

Rizaty, M. A. (2021, July 29). Komposisi Sampah Nasional Berdasarkan Sumber Sampah (2020). Retrieved from Katadata Media Network: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/29/mayoritas-sampah-nasional-dari-aktivitas-rumah-tangga-pada-2020

SATHYAJOTHI, S.; JAYAVEL, R.; DHANEMOZHI, A. Clara. The fabrication of natural dye sensitized solar cell (Dssc) based on TiO2 using henna and beetroot dye extracts. Materials Today: Proceedings, 2017, 4.2: 668-676.

Sutikno, Noverdi Afrian, Supriadi, and Ngurah Made Dharma Putra. 2016. "Synthesis and Characterization of Allium Cepa L. as Photosensitizer of Dye-Sensitized Solar Cell" 020040 (2016): 020040.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun