Mohon tunggu...
Bonaventura Suprapto
Bonaventura Suprapto Mohon Tunggu... -

pendidik dan menyukai pendidikan sepanjang hayat. Senang membaca.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revolusi Mental

1 Maret 2016   21:57 Diperbarui: 1 Maret 2016   22:07 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revolusi Mental, Mulai Dari Pendidikan
 Gagasan Revolusi mental yang diluncurkan oleh presiden terpilih Joko Widodo mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan, baik dari teknokrat, agawan, maupun para pendidik.


 Ide revolusi mental bermula dari kegalauan yang dirasakan oleh masyarakat diberbagai ruang kehidupan seperti di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media masa dan media sosial. Revolusi mental harus segera dilakukan mengingat, pertama: gagalnya rezim Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan, yang belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). 


 Kedua, tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Semuanya ini masih tetap berlangsung, dan beberapa diantaranya bahkan makin merajalela, di alam Indonesia yang terkenal ramah.


 Meski sangat sederhana, namun konsep yang ditawarkan oleh Joko Widodo tersebut didasari oleh pemikiran yang sangat fundamental, filosofis, dan empiris, sehingga mampu menyentuh akar persoalan. Masalahnya revolusi mental dimulai dari mana?

Mulai dari pendidikan
 Revolusi mental dimulai dari pendidikan, mengingat peran pendidikan sangat strategis dalam membentuk mental anak bangsa. Pengembangan kebudayaan maupun karakter bangsa diwujudkan melalui ranah pendidikan. singkatnya pendidikan merupakan "episentrum" pembangunan peradaban. Pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never ending process) selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis, maka pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi. Sebagaimana dikatakan oleh Theodore Roosevelt, karakter, dalam jangka panjang, adalah faktor penentu dalam kehidupan individu maupun bangsa.


 Sebenarnya program pendidikan karakter sudah lama dicanangkan oleh pemerintah, sayangnya sampai saat ini belum terealisasi, dibiarkan menguap begitu saja. Yang terjadi justru pendidikan terperangkap jargon "daya saing", pendidikan yang menekankan pada pengetahuan (kognitif) dan abai terhadap karakter, karena setiap kebijakan mengenai pendidikan selalu dikaitkan dengan biaya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk merancang kurikulum, berapa biaya yang digunakan uantuk melakukan sosialisasi, berapa biaya untuk melatih guru?
 Implementasi pendidikan karakter, tidak harus dikaitkan anggaran, dibutuhkan komitment dan integritas para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk secara sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai kehidupan disetiap proses pembelajaran. Pendidikan karakter bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, melainkan menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik, sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik (looving the good/moral feeling), dan "perilaku yang baik" (moral action) dan biasa melakukannya (psikomotor), jadi pendidikan karakter erat kaitannya dengan "habit" kebiasaan yang terus meneruskan dipraktekkan dan dilakukan.


 Anak-anak tidak membutuhkan kurikulum, tetapi kehidupan yang benar-benar mampu menghidupi mereka. Mereka belajar dari kehidupan nyata, yang terjadi sekarang banyak nilai-nilai atau ajaran yang sudah ada itu dikaburkan, ditutup-tutupi dengan kebohongan yang dikemas dalam sebuah ikon berupa iklan yang justru menyesatkan. Sebagai contoh, keberhasilan pendidikan hanya diukur dengan nilai rapor, nilai UN dan ijazah, yang semuanya itu hanya sebuah prestasi semu. 


Nilai Utama
 Thomas Lickona, dalam bukunya Education for Character, menawarkan dua nilai utama pendidikan karakter yang berdasarkan pada hukum moral, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab. Nilai-nilai tersebut mewakili dasar moralitas utama yang berlaku secara universal. Karena memiliki tujuan, dan merupakan nilai yang nyata, di mana terkandung nilai-nilai baik bagi semua orang baik secara individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.


 Ketika korupsi kian marak dan tak terkendali, intoleransi terhadap perbedaan, sifat kerakusan sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis menjadi sebuah fenomena, maka nilai-nilai rasa hormat dan tanggung jawab yang ditawarkan Thomas Lickona patut diapresiasi. Ini penting bagi pengembangan jiwa yang sehat, kepedulian akan hubungan interpersonal, dan terciptanya masyarakat yang humanis, demokratis, adil, dan damai.


 Ada tiga hal pokok untuk memahami konsep rasa hormat, yaitu, pertama, penghormatan terhadap diri sendiri, maksudnya adalah mengharuskan kita untuk memperlakukan apa yang ada pada hidup kita sebagai manusia yang memiliki nilai secara alami. Kedua, penghormatan terhadap orang lain, mengharuskan kita untuk memperlakukan semua orang bahkan orang-orang yang kita benci sebagai manusia yang memiliki nilai tinggi dan memiliki hak yang sama dengan kita sebagai individu. Ketiga, hormat terhadap lingkungan, sebuah kewajiban untuk melindungi alam dan lingkungan ketika kita hidup dari rapuhnya ekosistem dan segala kehidupan yang bergantung di dalamnya.


 Sedangkan tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari rasa hormat. Jika menghormati orang lain, berarti kita menghargai mereka. Jika kita menghargai mereka, berarti kita merasakan sebuah ukuran dari rasa tanggung jawab kita untuk menghormati kesejahteraan hidup mereka. Tanggung jawab secara literal "kemampuan untuk merespon atau menjawab." Artinya, tanggung jawab berorientasi terhadap orang lain, memberikan bentuk perhatian, dan secara aktif memberikan respons terhadap apa yang mereka inginkan. Tanggung jawab menekankan pada kewajiban positif untuk saling melindungi satu sama lain.


 Sikap hormat dan tanggung jawab adalah dua nilai moral dasar dalam membentuk mental anak yang harus diajarkan di sekolah. Tentunya masih banyak nilai-nilai lain seperti kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli terhadap sesama, keberanian, dan sikap demokratis. Namun nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat dan tanggung jawab atau sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan bertanggung jawab. Bagaimana strategi pengajaran tentang rasa hormat dan tanggung jawab? Tergantung kebijaksanaan masing-masing sekolah. Semoga.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun