Mohon tunggu...
Edhi Purwanto
Edhi Purwanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Dyah

9 Juli 2017   21:55 Diperbarui: 9 Juli 2017   22:24 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian Satu -  Prologue 
Malam itu hembusan angin semilir pelan. Bulan bulat terang menyinari kami yang duduk berdampingan di kursi panjang taman dihalaman rumahnya. Kami sudah lebih dari setengah jam duduk terdiam. ...

"mas"  Dyah memecah kebisuan kami. 

Aku cuman meliriknya dan tersenyum

"kalo mas benar benar pergi, apa aku masih bisa berhubungan dengan mas?" Dyah memandangku dengan mata sedikit berkaca kaca
"aku ndak tau dy" ujarku mengalihkan pandanganku dari tatapannya. Hatiku bergejolak. Kami kembali terdiam.

Selama aku mengenal dan dekat dengan Dyah, banyak suka duka diselingi cerita indah. Kami tidak pacaran atau punya hubungan khusus. banyak alasan yg membuat kami memutus bahwa kami berteman dekat. Sangat dekat malah. Bukan raga kami yg memiliki hubungan khusus itu tapi jiwa kami.  Kedekatan kami terjadi begitu saja. Kami merasa nyaman ketika berdekatan. Rasa sayang dan cinta timbul di hati masing masing kami. Tanpa perlu kami ungkap, kami menyadari itu. Tingkah dan polah kami menyatakan nya. Dyah sudah memiliki pacar, Bambang, perjodohan dari kedua orang tua mereka. Dyah sebenarnya tidak menyukai Bambang yang menurut dia sangat perfeksionis dan sangat bertolak belakang dengan pembawaannya yg lepas dan bebas. Jiwa seninya menempa pembawaannya. Dyah adalah seorang penari

Malam itu adalah malam terakhir kami bisa bertemu sebelum aku kembali ke kampung diseberang pulau setelah kelulusanku di sekolah atas.
Lamat lamat terdengar sebuah lagu dari radio FM dari Gito Rollies berjudul Burung Kecil... "hai burung kecil terbanglah tinggi......"

"ingatlah lagu ini mas, aku ingin jadi si burung kecil itu..." kata dyah perlahan. 

" uwis tho, gak usah sedihlah...kitakan cuman berteman. Kamu punya Bambang yang bisa menemanimu. Kamu pun harus bisa menghormati keputusan keluargamu.... Keputusan mereka adalah yg terbaik buatmu" aku menepuk pundak dyah berusaha menguatkan hatinya

Dyah malah tertunduk. Pundaknya bergoncang. Aku tau dia berusaha menahan kesedihannya. Dan dyah tau bahwa inilah pertemuan kami terakhir. Betul betul terakhir, sesuai dengan janjiku pada orangtuanya

Dyah lahir dari keluarga terhormat dan masih memiliki keturunan darah biru. Orang tua dyah tau bahwa dyah dekat denganku. Pernah aku di panggil dan di sidang oleh mereka. Mereka menceramahiku panjang lebar tentang silsilah keluarga mereka, perjodohan dyah, siapa keluargaku dan masa depan dyah. Tapi aku tetap kukuh mengatakan pada mereka bahwa aku cuman berteman dengan dyah. Dan pada akhir sidang itu, mereka ingin aku berjanji untuk menjauhi dyah. Aku setuju dengan mereka untuk menjauhi dyah setelah kelulusanku tapi dengan syarat selama aku belum lulus sekolah aku masih bisa bertemu dengan nya dan keputusan ini harus diberitahukan ke dyah. Mereka menyetujuinya.

"mas, boleh aku memandangi wajahmu?"  

aku memalingkan wajahku dengan alis berkerut

"tolong mas pandangi mataku dan jangan berkata apa apa"  aku hendak berkata tapi kepala dyah menggeleng seolah berkata "jangan"

Kutatap mata dyah direlung yg paling dalam. Dyah memandangi ku dengan ekspresi yg tidak bisa ku tebak. Lama kami saling menatap. Wajah dyah tanpa ekspresi. Kulihat air mata dyah menetes di dalam diamnya

"dy, mas gak pernah menyatakan sayang atau cinta sama kamu. Dan mas gak akan pernah menyatakan itu padamu. Tapi tanpa terucap dibibir mas pun, kamu tau itu seperti mas tau apa yg ada dalam isi hatimu. Nggak perlu kita ungkap. Kita tau bahwa kita tidak bisa bersama..... tapi percayalah, kita akan selalu bersama dihati mas" aku berkata lirih sambil menghapus air mata dyah yg mulai menetes deras. Dyah masih menatapku tanpa berkata apa apa. Bibirnya bergetar mungkin menahan isak tangisnya...

"sekarang masuklah. Berikan senyummu yg paling manis" aku mencoba tersenyum. 

Dyah malah terisak. Tangisnya lepas. 

Aku  peluk dyah dan membiarkannya menangis di dadaku. Ku cium kening dyah lembut. Hangat airmata dyah bagai paku yg menusuk jantungku. Janji adalah janji. Dan aku tetap akan memegang janji itu

Lagu "Angin Malam" lantunan Broery Pesolima mengalun di radio...

"dy, ingatlah lagu ini jika kamu rindu mas"

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun