[caption id="attachment_176503" align="alignleft" width="300" caption="danisedelights.files.wordpress.com"][/caption] Secangkir kopi menyegarkan tubuh dipagi hari, memberi semangat baru untuk mengarungi hari. Inspirasi hidup menggugah hati - menyegarkan jiwa. S’mangat Pagi.
Seorang Pengusaha Kuliner di Yogyakarta yang saya kenal, sudah memiliki dua cabang rumah makan , cukup untuk memberikan nafkah bagi kehidupan seluruh keluarganya. Bukan masalah usaha rekan saya yang saya ingin bicarakan, tetapi kepedulian dia terhadap orang lain yang menjadi inspirasi saya.
Awal mula keterlibatannya berempati kepada orang lain adalah dari sisa makanan hasil dagangan yang biasanya masih tersisa ketika rumah makannya tutup. Untuk menjaga kualitas maka dengan terpaksa sisa makanan akan dibuang karena kalau dihangatkan dan dijual lagi esok harinya akan menurunkan kualitas kuliner yang dijualnya. Ketika itu ada rekan yang menawarkan untuk membagikan sisa makanan untuk para orang jalanan daripada hanya dibuang tak berguna.
Dari pemberian sisa makanan inilah Pria ini berhubungan dengan komunitas marjinal, yang biasanya dianggap sampah masyarakat, dipandang sinis dan menjadi musuh pemerintah kota karena menggagu keindahan dan mencegah suatu piala Adipura bisa disandang.
[caption id="attachment_176512" align="alignright" width="184" caption="dok. Petrus Purnama"][/caption] Pria ini melakukan pendampingan dengan tulus iklas pada komunitas orang jalanan, bukan sebagai sinterklas yang membagi-bagikan uang tetapi mendorong mereka untuk lebih maju dalam menata hidup. Mendorong untuk tetap bekerja walaupun dengan pekerjaan yang sederhana, berpikir bersama memecahkan masalah yang ada, menjadi bapa bagi mereka ketika mereka di”garuk” oleh trantip, menyediakan waktu dan dana untuk mengobati ketika ada yang menderita sakit, bahkan mengurus kematian mereka ketika mereka ditemukan tanpa nyawa dijalan.
Apa yang dikerjakan bukan tanpa halangan, pertama adalah rasa ego pribadinya, ketika ada rasa curiga ketika pertama bersentuhan dengan komunitas ini, beberapa kali ditipu oleh mereka yang diberi modal kerja tetapi tidak dijalankan dengan baik. Kedua, dari lingkungan dan komunitas sendiri yang mengangap ini adalah program “Kristenisasi” , karena dia seorang Nasrani. Tantangan ini bisa dilalui dengan berjalannya waktu, bukan dengan sangahan atau debat tetapi dengan ketulusan hati, dimana yang terpenting adalah mereka bisa merasa menjadi orang, bukan sampah.
Memberi suatu kata ketika orang menerimanya akan berucap “Terima Kasih”. Saya teringat ketika Gus Dur meninggal dunia, ketika mba Yenny, diwawancarai mengenang kehidupan ayahandanya. Mba Yenny bercerita , kalau Gus Dur tidak pernah memegang uang baik pemberian ataupun dari hasil kerjanya, karena beliau berprinsip Terima Kasih, yaitu ketika beliau menerima maka akan dikasihkan kembali kepada orang yang membutuhkan.
Saya sangat salut dengan rekan saya yang saya ceritakan diatas, karena apa yang dilakukan bukan hanya sekedar memberi harta tetapi memberikan hidupnya bagi orang lain, memberikan pemikirannya, memberikan emosinya. Sangat sulit untuk bisa mengerti orang lain apabila kita tidak bisa masuk kedalam kehidupan orang tersebut, itu yang dilakukan rekan saya.
Mirip yang dilakukan oleh Mother Theresia yang mencurahkan hidupnya bagi para orang sakit kusta yang terbuang di Kalkuta , India. If you can’t feed a hundred people, then just feed one ~ Mother Theresia, jika kamu tidak bisa memberi makan seratus orang, maka berilah makan satu orang saja. Orang yang banyak memberi akan berkelimpahan, orang yang suka menolong akan ditolong juga.
Life is a gift and it offers us the privilege, opportunity and responsibility to give something back by becoming more ~ Anthony Robbins
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H