Ketika memulai membuat tulisan ini, melalui berita dari media online saya mendapat kabar bahwa real count KPU terhadap hasil pelaksanaan Pilpes bulan April 2019 lalu telah mencapai angka diatas 70 %. Dari prosentase itu, saya mendapat kabar juga bahwa pasangan 01 mendapat suara 56 % lebih, sementara pasangan 02 meraih suara 43 % lebih. Alhasil, berdasarkan perhitungan real count sementara tersebut, pasangan 01 masih memimpin perolehan suara pada Pilpres 2019 ini. Melihat grafik perolehan suara tersebut, hati saya berdesir.
Bagi saya, Pilpres tahun 2019 terasa paling 'luar biasa' dibandingkan Pilpres tahun-tahun sebelumnya yang pernah saya ikuti. Gema Pilpres 2019 demikian kencang sehingga kuatnya aroma persaingan sampai-sampai masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini tampak tenang-tenang saja. Dikotomi dan keterbelahan dukungan terhadap kedua calon dalam pandangan saya teramat membangkitkan resonansi ketegangan yang sangat kentara.
Kelompok-kelompok pensiunan militer, para budayawan, seniman, artis, para politisi gaek hingga kelompok-kelompok dalam ruang lingkup masyarakat yang lebih kecil tak tahan untuk akhirnya ikut nimbrung dalam polemik dan perdebatan selama persaingan perebutan kursi capres-cawapres tahun 2019 ini. Â Â
Ada banyak hal yang melintas-lintas dipikiran saya karena beberapa waktu yang lalu sebelum Pilpres 2019 dilaksanakan, saya menulis artikel di Kompasiana berjudul "Saya Pasti Menang, Kecuali Mereka Curang". Tulisan itu saya buat sebagai bentuk ketidakfahaman saya dengan berbagai macam sikap politik salah satu fihak kontestan Pilpres yang -menurut pemahaman saya- telah melakukan semacam fetakompli terhadap hasil pemilu.
Salah satu fihak berusaha meyakinkan publik bahwa pemenang pemilu tidak lain dan bukan adalah fihaknya, bahkan pada saat itu, salah satu dari pendukungnya sempat mengeluarkan pernyataan akan melakukan people power jika terjadi kecurangan dalam Pilpres ini. 'hanya kecurangan yang bisa mengalahkan kita', demikian salah satu ekpresi kemantapan kubu itu terhadap kemenangan atas hasil pemilu.
Maka, tak heran, tidak lama setelah Pilpres usai dan quick qount diumumkan oleh beberapa stasiun televisi memperlihatkan mayoritas lembaga survei tidak seperti yang diharapkan fihaknya, serta merta mereka melakukan penolakan demi penolakan dengan dalih dan narasi kecurangan.
Namun, penolakan yang dilakukan itu paradoks dengan klaim kemenangan berdasarkan hasil penghitungan tim internal yang konon mereka lakukan. Ini menurut saya sebuah sikap yang aneh. Disatu sisi memperlihatkan sikap tidak mempercayai kerja KPU, tapi disisi lain mendeklarasikan kemenangan menurut survei internal.
Kubu yang kecewa dengan perhitungan KPU ini melancarkan tuduhan demi tuduhan untuk meyakinkan publik bahwa pelaksanaan Pilpres 2019 dipenuhi kecurangan demi kecurangan yang menurut mereka masif, sistematis dan terstruktur. Belum lama bahkan mereka mengundang media dari luar negeri dengan maksud membeberkan keyakinan mereka mengenai kecurangan Pilpres 2019 yang menurutnya masif, sistematis, terstruktur, dan brutal itu. Â (waowwww...)
Membaca beragam ekspresi dan artikulasi dari fihak yang menolak hasil perhitungan suara versi KPU terhadap hasil Pilpres 2019 (meskipun sampai saat ini belum selesai), saya melihat gejala bahwa mereka benar-benar ingin membuktikan pernyataan yang sejak dini disampaikannya, yaitu akan mengerahkan people power jika Pilpres 2019 ini -menurut mereka- dipenuhi kecurangan.
Segenap argumentasi yang dibangun termasuk faktor-faktor lain yang derivatif dengan yang menurut mereka indikator dan bukti adanya kecurangan terus disuarakan. Dan melihat gelagatnya, saya melihat, bukan tidak mungkin ancaman people power yang mereka suarakan benar-benar akan terjadi. Kalau ini terjadi, bagi saya ini teramat mengerikan.
Penolakan terhadap hasil perhitungan yang dilakukan oleh lembaga KPU saya rasa kok sudah diluar batas nalar yang bisa saya terima, mengingat KPU dipilih melalui mekanisme hukum yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saya kira, tidak ada larangan untuk menyampaikan dugaan adanya kecurangan asal dilakukan secara proporsional dan menjunjung tinggi etika hukum dan kepantasan sosial.
People Power sejauh yang saya tahu adalah sebuah pilihan sikap untuk gerakan politik sebagai akibat dari adanya persepsi atau keyakinan dari fihak-fihak tertentu dalam masyarakat yang melihat saluran-saluran politik yang  konstitusional formal dinilai telah tidak memungkinkan untuk mengatasi persoalan terkait dinamika politik yang ada.
Bila demikian, jika people power benar-benar dilakukan sebagai imbas dari kekecewaan terhadap  hasil perhitungan yang dirilis KPU, berarti mereka tidak percaya KPU, tidak percaya MK, tidak percaya kepolisian, tidak percaya lembaga resmi pemantau pemilu, tidak percaya siapapun yang terlibat dalam proses pelaksanaan Pilpres 2019 kemarin.
Kalau benar seperti itu, dimata saya ini sangat mengerikan. Saya tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Orang-orang dikampung saya telah melupakan Pilpres kemarin, mereka kembali bekerja dan menganyam kehidupan sosial bersama sebagai sebuah masyarakat.
Ya, mereka berbeda pilihan dalam Pilpres kemarin tetapi jauh dalam ruang bawah sadar mereka, hidup dalam suatu bebrayan sosial yang harmonis lebih penting dari apapun. Masyarakat bawah dikampung saya telah memilki cukup pengalaman sejarah tentang betapa berbahayanya akibat dari politik devide et impera. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H