Mohon tunggu...
Lardianto Budhi
Lardianto Budhi Mohon Tunggu... Guru - Menulis itu Membahagiakan

Guru yang suka menulis,buat film,dan bermain gamelan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosof yang Tidak Mencintai Kebijaksanaan Itu Fiksi atau Fiktif?

12 April 2018   17:06 Diperbarui: 12 April 2018   17:53 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
makassar.tribunnews.com

Dalam sebuah acara diskusi di stasiun televisi swasta pada selasa malam, 10 April 2018 yang dihadiri oleh para ahli hukum dan beberapa tokoh Nasional, Rocky Gerung pengajar mata kuliah filsafat dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa kitab suci adalah hal yang fiksi. 

Dosen filsafat itu tidak menyebut secara spesifik kitab suci agama apa yang dimaksud dalam pernyataan tersebut, sehingga ketika salah seorang narasumber lain mengklarifikasi maksud pernyataannya itu, Rocky Gerung menolak dianggap melakukan kesalahan. Dalam pandangannya kata fiksi selama ini telah dibebani kebohongan sehingga selalu dianggap sebagai sesuatu yang negatif.

Bagi Gerung, fiksi adalah energi untuk mengaktifkan imajinasi, karena itu fiksi berbeda dengan fiktif. Menurut argumen Rocky Gerung, fiksi adalah hal yang kreatif, ia mencontohkan misalnya kisah Mahabharata itu fiksi tapi kisah itu bukan fiktif. Fiksi akan membangkitkan energi imajinasi sehingga seseorang akan lebih kreatif dalam menjalani proses berkeyakinan. Masih menurut Rocky Gerung, fiksi menyangkut hal-hal yang belum terjadi atau yang diharapkan terjadi dimasa depan yang ia sebut dengan istilah eskatologis.

Saya bukan  bukan ahli filsafat ataupun ahli bahasa, artinya dihadapan Rocky Gerung saya bukan siapa-siapa. Sebagai seorang ilmuwan dan pengajar mata kuliah filsafat tentunya Gerung memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk melemparkan pendapatnya itu dengan gagah berani karena ia tahu, ia telah siap dengan argumen-argumen yang menurutnya ilmiah dan lojik untuk menguatkan pendapatnya itu. 

Gerung merasa memiliki otoritas dan kemerdekaan untuk mengekspresikan buah fikirannya sebagai bentuk tanggungjawab moral maupun peneguh eksistensinya sebagai ilmuwan pada bidang yang ia tekuni. Dalam hal persepsi dan pemaknaannya terhadap fiksi, secara keilmuan dia tidak bisa langsung kita salahkan, apalagi ia mendalami ilmu filsafat yang bagi orang awam seringkali hanya mampu difahami sebatas akrobat kata-kata. 

Esensi filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan memiliki karakteristik dan bentuk-bentuk idiomatik yang membutuhkan ruang tersendiri untuk memahaminya. Oleh karena itu, saya sebagai bagian dari orang awam yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk berfilsafat lebih tertarik untuk melihat pernyataan yang disampaikan Gerung tadi dari sudut lain, yakni sosial dan budaya.

Kitab Suci, fiksi ?      

Rocky Gerung sebagai ilmuwan boleh saja mengajukan suatu logika tertentu asalkan ia juga sadar bahwa masyarakat bagaimanapun awamnya, juga berhak memiliki logikanya sendiri. Mustahil Gerung tidak tahu bahwa yang selama ini difahami masyarakat secara luas mengenai fiksi adalah khayalan atau rekaan. Oleh sebab itu, kisah fiktif adalah kisah yang dibuat atau ditulis berdasarkan khayalan atau rekaan semata. 

Berbeda dengan pendapat Gerung, masyarakat luas memahami fiksi dan fiktif sebagai dua kata yang sama, fiksi sebagai kata benda, sedangkan fiktif merupakan pensifatan atau kata sifat. 

Melihat realitas yang demikian, Rocky Gerung tidak boleh mengkooptasi pemahaman masyarakat dengan menyebut masyarakat telah salah memaknai kata. Ia sebagai seorang ilmuwan bisa saja mengganggap yang tidak memahami pernyataannya sebagai orang-orang yang tidak faham lojik, seperti yang sering dikatakannya dalam diskusi-diskusi yang diikutinya.

Seandainya wacana pemikiran yang disampaikan Rocky Gerung tidak berkaitan dengan sensitivitas agama, saya menduga beberapa kalangan dimasyarakat tidak akan merespons secara reaktif seperti sekarang. Sepertinya Gerung tidak mau tahu dengan hal ini sehingga menganggap apa yang ia katakan mengenai kitab suci itu adalah persoalan yang biasa-biasa saja. 

Pendapatnya tentang kesalahan pemaknaan terhadap kata fiktif sah-sah saja tapi jika bersamaan dengan itu ia menyalahkan fihak lain yang tidak sependapat dengannya, tentu itu tidak bisa dibenarkan. Sebagai seorang akademisi seharusnya ia tidak hanya mengedepankan esensi pengetahuan namun harus pula mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat agar tidak menimbulkan potensi kerawanan sosial.

Apalagi ia berkapasitas sebagai seorang ilmuwan filsafat yang pertimbangan utama dalam setiap yang dikerjakan dan ditekuninya adalah proses pencarian kebijaksanaan. Kitab suci yang ia sebut sebagai hal yang fiktif bagaimanapun telah menimbulkan dampak sosial dimasyarakat. Gerung tidak boleh jumawa seraya berdiri pada landasan ilmu filsafat yang ia pijak tanpa menoleh kenyataan dalam masyarakat yang memperlihatkan adanya pemeluk agama dengan karakteristik pemahaman agama yang beragam.

Meskipun ia berkilah tidak menyebut secara jelas kitab agama apa yang dimaksut, justru pernyataannya itu bisa dimaknai berlaku bagi kitab semua agama. Atau apakah memang ia bermaksud untuk menganggap kitab suci semua agama adalah hal yang fiktif berdasarkan lojik yang dimilikinya ?. Kalau ia menyebut kitab suci sebagai hal fiktif karena berkaitan dengan kejadian yang sifatnya eskatologis atau masa depan, berarti argumen yang ia kembangkan belum didasari oleh pencermatan mendalam terhadap kitab suci sebab sebagai contoh Al-Quran kitab suci umat Islam tidak hanya berisi mengenai keadaan hari depan (akhir jaman) namun memuat pula tentang peristiwa nyata pada masa lalu dan banyak hal yang kontekstual dengan masa kini.

Saya tidak mempelajari secara mendalam kitab-kitab agama lain selain agama Islam sehingga saya tidak tahu apa isinya, tapi saya yakin kitab-kitab suci yang diimani oleh masing-masing pemeluknya itu tidak hanya berisi tentang hari kiamat atau eskatologis seperti yang dikatakan Gerung.

Oleh sebab itu, menurut saya sebaiknya Rocky Gerung segera berkomunikasi secara luas dengan masyarakat untuk mengklarifikasi persoalan ini agar tidak meluas dan menimbulkan kekacauan. Gerung tidak boleh malu untuk berendah hati mengakui telah membuat kesalahan atau ketidaktepatan pemakaian kalimat dalam penyataannya mengenai kitab suci apabila hal itu memang diperlukan demi menjaga stabilitas sosial masyarakat. 

Apalagi ia seorang pengajar, akademisi yang juga mempunyai  tanggungjawab memberi teladan kepada masyarakat tentang pentingnya kerendahan hati. Hal ini lebih penting daripada ia terus menerus berargumen atau terlebih lagi membangun konflik hanya untuk membela gengsinya sebagai ilmuwan filsafat. Sekaligus ini akan menjadi bukti bahwa filsafat adalah ilmu tentang kecintaan kepada kebijaksanaan. Apa iya, ada filosof yang tidak mencintai kebijaksanaan ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun