Tahun 80-an ketika saya masih duduk dibangku SD saat orde baru masih berkuasa, saya masih ingat betul sebuah acara musik ditelevisi yang oleh kami semua anak-anak kampung selalu ditunggu-tunggu. Acara itu adalah Tititan Muhibah, sebuah acara musik yang disiarkan secara live pada malam minggu dan menampilkan para penyanyi Indonesia dan Malaysia yang ditampilkan secara bergantian. Ketika itu belum ada siaran televisi swasta sehingga TVRI adalah stasiun televisi yang tetap menjadi primadona, apalagi bagi kami anak-anak kampung didaerah pegunungan yang lumayan terpencil.
TVRI dan RTM (Radio Televisyen Malaysia) bersama-sama menyiarkan satu acara budaya yang dikemas dalam balutan pagelaran musik dari artis dan musisi masing-masing negara. Pada saat itu acara Titian Muhibah menjadi acara musik favorit kami. Dari acara itulah saya yang masih usia SD pertama kali mengenal Vina Panduwinata dan kelompok band fenomenal Malaysia, Search dengan hits Isabella.
Titian Muhibah dirancang sebagai bentuk diplomasi kebudayaan yang diinisiasi oleh pemerintahan presiden Soeharto saat itu. Acara ini secara umum dinilai sukses, karena selain memberikan hiburan yang segar dan menyenangkan banyak orang namun berdampak lebih luas yakni menjadi jembatan penghubung komunikasi kultural antara Indonesia dan Malaysia.Â
Budaya, dalam hal ini musik menjadi semacam pelumas yang melicinkan karat-karat komunikasi antar 2 bangsa serumpun ini. Sayang, memasuki era 90-an saat industri televisi swasta nasional mulai berkembang, seiiring dengan itu pula acara Titian Muhibah mulai samar-samar terdengar sebelum akhirnya hilang sama-sekali. Saya tidak bermaksud ingin beromantika dengan presiden Soeharto dan pemerintahan orde baru, saya ingin melihatnya dari aspek budaya, terutama budaya musik.
Sejak jaman paling purba, musik telah berperan dalam berbagai aktifitas masyarakat. Fungsi musik yang pada awalnya hanya dikenal sebagai sarana penunjang kegiatan-kegiatan magis dan religius masyarakat pra sejarah, lama kelamaan mengambil banyak peran dalam kehidupan masyarakat. Musik bukan terbatas dimaknai sebagai bunyi, akan tetapi juga dilihat sebagai entitias linguistik dan filsafat. Alan P. Meriam seorang etnomusikolog menyebutkan bahwa musik bisa dimaknai dalam 3 dimensi, yaitu: musik sebagai bunyi, musik sebagai tata perilaku atau sistem nilai sikap dan musik sebagai sebuah pengetahuan.Â
Pernyataan yang diajukan oleh Alan P. Meriam tersebut menandaskan betapa realitas yang terdapat pada musik sesungguhnya tidak saja bermakna sebagai secara fisik. Melalui musik kita bisa mengetahui dan menemukan makna-makna dan simbol-simbol maupun ekspresi dan jenis kebudayaan dari setiap masyarakat yang melahirkan musik.
Sedemikian pentingnya musik bagi masyarakat, tak kurang para ilmuwan masyur dunia sejak beberapa abad yang lalu telah banyak menulis banyak buku dan menerbitkan literatur yang membahas mengenai musik. Sebut saja Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, dan Jalaluddin Rumi adalah para ilmuwan sekaligus teolog yang memiliki perhatian besar pada dunia musik.Â
Dari para ahli ini kita bisa melihat bagaimana musik seharusnya menjadi bagian penting dalam kehidupan. Musik tidak terbatas pada sebuah upaya mengorganisasi atau mengatur bunyi yang hanya meletakkan musik sebagai hiburan (aspek eksoteris) tetapi musik juga berperan lebih jauh lagi hingga pada aspek isoteris yang terkait dengan pembentukan watak, pengembangan fikiran dan menanamkan kehalusan jiwa pada diri seseorang.
Setelah kekuasaan orde lama Soekarno berakhir dan masuk pada kekuasaan orde baru Soeharto, peta musik tanah air berubah secara drastis. Slogan BERDIKARI yang digelorakan Soekarno yang salah satu imbasnya adalah kebijakan proteksi yang ketat terhadap perkembangan musik Indonesia terhadap pengaruh budaya musik dari luar serta merta mulai longgar dan mencair.Â
Dalam beberapa segi, perubahan arah kompas kepemimpinan nasional ini membawa dampak yang cukup berarti bagi musik Indonesia. Momentum ini mendorong lahirnya para musisi seperti Rhoma Irama, God Bless dan Koes Plus yang membawa gaya musik modern di Indonesia. Kehadiran para musisi dan kelompok musik tersebut selain memperkenalkan sebuah genre musik baru sekaligus juga diikuti oleh perubahan pola pandang, cara berfikir dan gaya hidup masyarakat yang akhirnya memberi pengaruh besar dalam perubahan sosial yang terjadi di Indonesia.
Warna musik, kostum dan syair lagu yang dibawakan oleh para musisi Indonesia pada awal tahun 70-an memberi sumbangan besar terhadap pembentukan watak masyarakat, utamanya generasi muda. Rhoma Irama dengan kelompok dangdut SONETA adalah salah satu fenomena musisi dan wajah musik Indonesia yang berhasil melakukan transformasi dan dekonstruksi musik dangdut dari yang awalnya dianggap kampungan menjadi musik yang menjadi kebanggan masyarakat.Â