Mohon tunggu...
Sosbud

Kasus Paniai : Menciderai semangat membangun Papua Tanah Damai

27 Mei 2015   18:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:32 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyikapi kasus Paniai sebagai  masalah kekerasan di tanah Papua, saya pribadi menolak bentuk –bentuk kejahatan yang telah menghilangkan nyawa  orang tak berdosa, secara kenegaraan kita mendorong pembangunan papua yang beradab, bermartabat dan menjunjung tinggi asas negara kita Pancasila, beberapa waktu lalu saya membaca Laporan Pernyataan Publik dari  Amnesty International, dan secara pribadi saya menyambut baik pengumuman yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang merekomendasikan pembentukan tim penyelidikian pro-justicia untuk melakukan investigasi yang rinci terhadap pembunuhan empat pelajar oleh anggota pasukan keamanan dan menyebabkan luka-luka bagi belasan orang lain di Paniai, provinsi Papua pada Desember 2014. Para korban dan keluarga mereka, serta kelompok-kelompok HAM telah menyerukan keadilan semenjak peristiwa itu dan berita ini memberikan mereka suatu harapan sejati untuk akuntabilitas. Sebagaimana kita ketahui bersama pada pagi hari 8 Desember 2014, gabungan pasukan keamanan, baik polisi maupun militer, diduga mengeluarkan tembakan kepada ratusan pengunjuk rasa damai di lapangan Karel Gobai, di kota Enarotali, Paniai, provinsi Papua. Setelah tembakan tersebut berakhir, empat orang ditemukan tewas dari luka tembakan. Apius Gobay, berusia 16 tahun, tertembak di perutnya; Alpius Youw, 18 tahun, di pantat; Simon Degei, 17 tahun, di rusuk kirinya; sementara Yulianus Yeimo, 17 tahun, mendapat luka tembakan di perut dan punggungnya. Paling sedikit 17 orang lainnya juga mengalami luka-luka setelah terkena peluru tembakan atau tusukan bayonet oleh pasukan keamanan. Kita juga mengetahui di bawah hukum dan standar-standar internasional, aparat penegak hukum hanya boleh menggunakan kekuatan jika benar-benar dibutuhkan dan sejauh yang dibutuhkan untuk melaksanakan tujuan penegakan hukum yang sah; mereka tidak boleh menggunakan senjata api kecuali ketika membela diri terhadap ancaman segera yang mematikan atau cedera serius. Penggunaan kekuatan yang sewenang-wenang dan disalahgunakan oleh kepolisian atau aparat keamanan lain yang melakukan tugas penegakan hukum harus dihukum sebagai tindak kriminal di bawah hukum. Presiden Joko Widodo secara terbuka berkomitmen pada Desember 2014 untuk menyelesaikan kasus ini dan beberapa saat setelahnya Komnas HAM membentuk suatu tim untuk melakukan investigasi awal terhadap kasus ini. Setelah empat bulan bekerja, Komnas HAM sekarang telah menemukan bukti pelanggaran HAM yang berat sebagaimana yang didefinisikan dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan telah merekomendasikan sebuah tim penyelidik pro-justicia (KPP HAM) untuk melakukan investigasi yang lebih rinci, yang pada akhirnya bisa berujung pada proses persidangan dalam suatu Pengadilan HAM. Komnas HAM akan mengambil keputusan akhir pada Mei 2015 setelah tim kasus Paniai menyempurnakan kompilasi informasi-informasi kasus tersebut dan analisis hukum sebagaimana yang diatur oleh undang-undang tersebut.


Sebagai seruan dari Amnesty International kepada pihak berwenang Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak yang relevan, termasuk pasukan keamanan Indonesia, bekerja sama dengan tim bentukan Komnas HAM ketika tim tersebut dibentuk dan menjalankan tugas-tugasnya, dan bahwa Komnas HAM disediakan sumber daya yang memadai, termasuk ahli forensik dan ahli-ahli lain yang relevan, untuk melakukan kerjanya. Lebih lanjut, para korban dan saksi harus disediakan perlindungan yang memadai.

Sangat disayangkan budaya impunitas telah berkontribusi pada tutup matanya pemerintahan sebelumnya terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia di Papua, termasuk pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang berlebihan, dan penyiksaan dan bentuk perlakukan buruk lainnya. Jika penyelidikan Komnas HAM dan komitmen terbuka Presiden untuk menyelesaikan kasus ini berujung pada suatu akuntabilitas yang sejati, dan reparasi bagi para korban dan keluarga mereka, hal ini akan menjadi sebuah indikasi yang positif bagi orang-orang Papua akan komitmen Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki situasi HAM di wilayah tersebut.
Kepada pihak keamanan , atau siapa pun anggota pasukan keamanan yang ditemukan bertanggung jawab terhadap penggunaan kekuatan yang semena-mena dan brutal, termasuk mereka yang memiliki tanggung jawab komando yang memberikan perintah melawan hukum atau yang mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa mereka yang ada di bawah komandonya melakukan penggunaan kekuatan yang melawan hukum, dan mereka yang tidak mengambil tindakan untuk mencegahnya, harus diadili di sebuah pengadilan sipil yang prosesnya menemui standar-standar internasional tentang peradilan yang adil, tanpa menggunakan hukuman mati.

Saya sangat mengapresiasi Seminar yang di selenggarakan oleh  Forum Independen Mahasiswa (FIM) yang merupakan elemen mahasiswa yang fokus kepada persoalan Hak Sipil – Politik (Sipol) dan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB) yang menaruh keprihatinannya akan peristiwa di Enarotali dengan jatuhnya korban jiwa. Sayangnya harapan akan sebuah keadilan semakin jauh dari harapan sampai pada  bulan Maret 2015 tidak terlihat adanya penyelesaian yang adil bagi para korban maupun keluarga korban. Dengan melihat kondisi diatas maka FIM memprakarsai kegiatan seminar yang dilaksanakan pada hari sabtu 28 maret 2015.  Kegiatan seminar  tersebut  menghadirkan narasumber Jhon Gobay ( Ketua Dewan Adat Paniai), Jorgen Numberi (staff Komnas HAM Papua), Pdt Dora Balubun (KPKC Sinode GKI), Agustinus Kadepa (Aktivis Mahasiswa), Jones Douw ( Aktivis HAM ) dan Laurens Kadepa (Anggota DPR Papua) dan dihadiri oleh peserta sebanyak 138 orang yang merupakan perwakilan dari Elsham, SKPKC Fransiskan Papua, Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), LEMASA, GMKI, BEM Uncen, FKM-KP, AMP, SPMP, GMKI, Gempar Papua, Pemuda, Aktivis HAM, Perwakilan Komnas HAM Papua, TAPOL, TIKI HAM PAPUA, Garda Papua, IPMM, BEM FMIPA Uncen, IPP MEE, PNWP, Mahasiswa, Pemuda Katolik.  Adapun merekomendasikan kepada Komnas HAM:

1. Mendesak Komnas HAM pada pleno tanggal 2 april 2015 segera membentuk KPP HAM untuk kasus Paniai. Karena Perisiwa ini dikategorikan adanya unsur pelanggaran HAM BERAT karena telah memenuhi unsur: Komando, Meluas dan Sistematis.
2. Semua pihak yang mempunyai data Kasus Paniai telah sepakat untuk mengkompilasi dan menyerahkannya kepada Komnas-HAM apabila dibentuk KPP HAM

Semua upaya telah dilakukan dalam kerangka Hukum yang berlaku dinegara kita, dan kejujuran membangun bangsa adalah pertanyaan penting bagi kita semua sebagai unsur penyelenggara Negara.  Negara sudah seharusnya melindungi rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun