Mohon tunggu...
Adityo Eka
Adityo Eka Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

simple

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bersantap Sambil Mengangkat Derajat Petani Organik

16 Februari 2010   21:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:53 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_75809" align="alignright" width="300" caption="we are jack's"][/caption]

Kedai itu berada pada bekas icon hedonism kota budaya yang sedang menuju mati suri. Betapa tidak, keramaian sekarang berpindah pada pinggir jalan menuju bandara. Kedai dengan tampilan tidak Indonesia itu tetap gagah mentereng di pinggir foodcourt lebar yang selalu dipenuhi bocah-bocah sekolah menengah atas. Kedai tersebut jualan kentang, ya, berusaha menjadikan kentang sebagai alternatif dalam bersantap. Betapa percaya dirinya kedai tersebut, sampai saat ini belum ada substitusi yang bisa semantap nasi. Dengan semboyan "I WONDER HOW HEALTHY FOOD COULD BE THIS DELICIOUS" kedai tersebut berani membuka lapak dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam. Dan tak ayal, kedai sepi pengunjung dari awal lapak dibuka sampai menjelang petang, dan mulai dihampiri segelintir pengunjung di petang hari menuju malam, kalah bersaing dengan warung nasi mungkin. Bahkan ada pula yang memberi kritik bahwa kedai tersebut tidak nasionalis, sangat malah. Konsep serba Britania yang diambil dan menu yang bukan makanan pokok Indonesia mungkin yang menjadi inspirasi pengkritik. Tetapi konsep hanyalah konsep, sang pemilik tentu punya alasan tersendiri dalam memilih tema. Britania diambil karena melihat sejarah kentang itu sendiri. Ketika dibawa dari daerah asalnya di Peru menuju Inggris, kentang langsung diminati oleh penduduk setempat. Dan menurut beberapa sumber, dari Britania ini lah kentang kemudian populer di Eropa. Hal tersebut yang menjadikan seluruh ruangan kedai di dominasi warna merah, biru, dan sebagian kecil warna putih. Gambar Union Jack tercetak besar pada salah satu tembok, wagon pun dihiasi dengan gambar bendera Britania Raya tersebut.

[caption id="attachment_75810" align="alignleft" width="300" caption="menu favorit"][/caption]

Kentang memang sangat berhubungan erat dengan Britania, tetapi bagaimana dengan di Indonesia? Selama ini kentang hanya berposisi sebagai makanan cemilan atau campuran sayur sop. Baru segelintir orang yang menjadikan kentang sebagai pengganti nasi. Namun, bukan berarti kedai tersebut berusaha menjadi pesaing warung nasi. Kentang tetap diposisikan sebagai cemilan, cemilan berat tepatnya. Kedai tersebut mengajak masyarakat untuk menyempatkan sekali saja dalam 3 kali sehari mereka makan untuk "ngemil" kentang, entah itu sebagai pengganti makan siang maupun makan malam. Dan karena kentang organik yang dijadikan bahan baku, terselip sebuah misi mulia di dalamnya yaitu mencoba menaikkan produktivitas petani organik (walaupun mencari keuntungan tetap menjadi misi utama, sebuah kewajaran dalam dunia bisnis). Tak ada yang menyangkal, petani adalah profesi yang dianut oleh 60% dari total penduduk di Indonesia. Dan yang berprofesi sebagai petani organik tentunya berada di bawah persentase tersebut. Dan tak ada pula yang menyanggah bahwa nasib paling nahas dialami kaum tani. Penghasilan terbatas dan tak jarang pula yang susah memenuhi kebutuhan dasar (baca). Jadi, setelah melihat kenyataan tersebut seharusnya tak perlu lah keluar kritikan-kritikan berbau nasionalis. Kedai tersebut sudah sangat nasionalis dengan berusaha menaikkan derajat potensi bangsa. Kita sudah terkenal sebagai bangsa agraris dari masa ketika nusantara masih merupakan kesatuan regional yang memiliki otonomi sendiri-sendiri, mengapa kita tidak dapat maju dengan agraris?Dan mungkin tepat pula pribahasa yang menyebut "don't judge a book by its cover". Kedai tersebut "Indonesia dengan tampilan tidak Indonesia".

Kedai yang bernama Jack Potatoes (JackPot) ini menyewa lapak di salah satu pusat perbelanjaan di Yogyakarta, Galeria Mall lantai 3. Selalu "pede" menawarkan cemilan yang mengenyangkan ketika malas bertemu nasi. Selain itu kedai ini pun mengajak masyarakat untuk merasakan pengalaman lain, yaitu bersantap sambil mengangkat martabat petani organik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun