Mohon tunggu...
Kemas Achmad Mujoko
Kemas Achmad Mujoko Mohon Tunggu... Sociology of Development Student, Universitas Negeri Jakarta -

Equivalent Exchange

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

One Belt One Road vs Nelayan Miskin

11 Januari 2016   11:23 Diperbarui: 11 Januari 2016   13:48 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Delegasi Pemuda Indonesia untuk China

Oleh: Achmad Mujoko[1]

 

Tiongkok merupakan negara kedua terbesar ekonomi dunia setelah Amerika Serikat sementara Indonesia menempati posisi ke-15 dari kekuatan ekonomi dunia. Hal yang sangat luar biasa jika dilihat sebagai capaian kerja Tiongkok selama berabad-abad. Kekuatan ekonomi Amerika memberikan indikasi sistem ekonomi kapital dengan sistem sosial liberal, namun kontraris dengan Tiongkok yang memiliki sistem sosial komunis namun memiliki sistem ekonomi kapital dibuktikan dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh segelintiran orang. Namun hal yang perlu dipelajari, Tiongkok bukanlah negara yang seperti dikatakan Marx terdapat kaum borjuis dan proletar yang memiliki gap terlalu besar dan tentunya proletar yang teralienasi dalam kebutuhan kesehariannya. Menurut Prof. Xu Liping Ketua Kantor Riset Budaya Sosial Asia-Pasifik dari Chinese Academy of Social Sciences pada tanggal 4 September 2015 di Beijing. Ia menjelaskan bahwa Tiongkok menjadi negara yang meskipun kita tidak bisa memungkiri adanya kaum borjuis dan proletar, namun proletar tidak menjadi teralienasi terhadap barang produksinya dibuktikan dengan masyarakat Tiongkok masih mampu untuk mengakses ekonomi kapital hingga post-kapital. Masyarakat Tiongkok dengan kekuatan ekonominya yang tinggi memberikan banyak peluang untuk kaum proletar untuk mengembangkan potensinya dalam mencapai kemakmuran. 

Namun dengan semakin bersaingnya produk kapital non Tiongkok menjadikan kecepatan perekonomian Tiongkok menurun dari 10% menjadi 7%. Meskipun mengalami penurunan, Tiongkok tetap menjadi kekuatan ekonomi ke-2 dunia, paradigma yang digunakan juga bukan lagi paradigma 1.0 atau money paradigm, namun telah menjadi paradigma 3.0 atau going to environtment paradigm. Bukan paradigm environtment melulu mengenai lingkungan hidup, namun juga environtment dalam artian luas yaitu environtment sebagai produk sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, atau lingkungan sekitar produksi barang dan jasa.

Untuk mencapai kemakmuran untuk semua—meskipun sistem ekonomi kapitalis dan sistem sosial komunis yang kontraris—Tiongkok melakukan sebuah inovasi yang tercetus dengan sejarah negaranya yang dikenal sebagai jalur sutera. Jalur sutera merupakan jalur yang dilewati oleh pedagang Arab (yang pada saat itu sutera menjadi komoditas berharga) untuk berjualan ke negeri Asia hingga Indonesia. Jalur sutera memberikan sebuah kesempatan negara yang dilalui untuk semakin berdaya dan semakin kuat dalam ekonomi karena jalan ini dapat menjadi sebuah referensi dalam mengembangkan strategi perdagangan internasional (Asia-timur tengah). Inovasi yang dicetuskan dinamakan One Belt One Road atau Satu Sabuk Satu Jalan dalam artian One Belt artinya Jalan Sutera, dan One Road berarti satu maritim dengan artian bahwa melalui jalur sutera yang menghubungkan negara-negara maritim dapat meningkatkan perekonomian negara yang dilewati oleh jalur sutera. Memberdayakan negara maritim berarti juga memberdayakan sistem transportasi yang memang menjadi sebuah inti sari dari inovasi ini, bahwa jalur transportasi memang harus diberdayakan sedemikian rupa untuk kemakmuran orang banyak, termasuk Indonesia yang akan diuntungkan dengan dilaluinya Indonesia sebagai titik balik jalur ini yang artinya akan mendorong ekspor dalam negeri melalui jalur pelabuhan.

 

One belt one road juga memberikan dorongan untuk masyarakatnya melakukan entrepreneurship dengan memberdayakan masyarakat dalam setiap aspek ekonomi yang memperkuat sistem ekonomi internal Tiongkok selain dengan memberdayakan masyarakat internasional yang juga akan menguntungkan Indonesia tentunya. Meskipun rancangan one belt one road ini terlihat seperti sebuah strategi yang terlihat bahwa Tiongkok ingin menguasai kekuatan ekonomi dunia, namun one belt one road bukanlah sebuah strategi namun sebuah inovasi untuk memperkuat ekonomi dunia. One belt one road sangat berbeda dengan Marshall Plan yang dicanangkan oleh Marshall untuk memperkuat ekonomi Amerika dengan strategi memberikan bantuan kepada negara-negara dunia ketiga untuk berkembang yang tujuannya hanya akan menguntungkan ekonomi Amerika dengan melihat sistem struktural fungsional yang diberikan Amerika. One belt one road tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi untuk Tiongkok, namun juga memberikan keuntungan untuk negara-negara lain yang dilalui jalur ini. Ini merupakan sebuah inovasi, diharapkan Indonesia bisa menjadi kekuatan ekonomi, bukan menjadi yang pertama, namun dari urutan ke-15 menjadi kekuatan ekonomi ke-6 ujar Prof Xu Liping dalam pidatonya bersama delegasi Indonesia untuk Tiongkok bulan September lalu di Beijing, Tiongkok.

Namun yang perlu dikritisi lebih lanjut apakah inovasi ini menguntungkan masyarakat seutuhnya atau hanya cenderung menguntungkan pemilik modal? Menjadi hal yang menarik ketika sebuah inovasi dimainkan dalam arena basis depan. Bagaimana pencitraan positif dibuat oleh negeri tirai bambu kepada negara intervensinya sehingga kecenderungan dukungan akan diperoleh.

            Pengembangan masyarakat mengenal dua pendekatan umum yaitu pendekatan Bottom-up dan pendekatan Top-down. Pendekatan Top-down merupakan pendekatan yang menggunakan logika berpikir dari ‘atas’ kemudian melakukan pemetaan ‘ke bawah’ untuk melihat keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi kebijakan. Pendekatan ini menimbulkan kritik bahwa dalam sebuah pendekatan kita tidak bisa melulu melihat dari atas yang kadang lupa akan kebutuhan ground area, maka muncullah pendekatan Bottom-up. Dalam kasus One Belt One Road cenderung melakukan pendekatan Top-down karena berorientasi pada ranah atas pemegang kebijakan.

 

Orientasi Kemunduran Pemberdayaan Nelayan Miskin

Inovasi yang ditawarkan oleh One Belt One Road adalah pemberdayaan jalur maritim dari Tiongkok ke Indonesia, Eropa dan ke negara-negara maritim lainnya. Dalam pemberdayaan ini Tiongkok menjadi poros maritim dunia degan juga menganut prinsip 5 in one; Membangun budaya maritim, menjaga dan mengelola sumber daya laut, membangun infrastruktur laut, diplomasi kelautan yang dinamis, meningkatkan ketahanan laut.

Inovasi One Belt One Road terutama dalam ranah kemaritiman menjanjikan keuntungan besar bagi negara yang turut mengimplementasikan program skala dunia ini. Program yang berorientasi pada pengembangan jalur laut dalam perencananya memberikan dampak yang pelik bagi negara-negara implementornya. Dampak jangka pendek yang ditimbulkan dari keberadaan program ini adalah semakin tingginya gap antara nelayan miskin dengan pemilik modal. Kita bisa lihat contohnya dari penguasaan kapal-kapal oleh pemilik modal. Nelayan hanya akan memiliki fungsi sebagai “tukang” di mana ia bekerja untuk pemilik modal, bukan lagi untuk menjadi atau memperkuat perekonomian dan kesejahteraannya. Atau dalam pemikiran Marx, nelayan menjadi teralienasi atas kerjanya.

Bahkan dalam pemikiran Bourdieu sendiri akan menjelaskan bahwa dengan keberadaan One Belt One Road ini akan menjadi sebuah kekerasan simbolik oleh penguasa modal, atau bahkan negeri Tirai Bambu itu sendiri. Negeri Tiongkok melakukan sebuah simbolisasi dari penguasaan ekonomi melalui modal inovasi yang menguntungkan, padahal jika kita melihat dari pendekatan Bottom-up, apakah negara Indonesia akan benar-benar diuntungkan? Orientasi inovasi untuk mengembangkan kemaritiman ini justru hanya menjadi wilayah penguasaan pemilik modal, dan menjadi kecenderungan orientasi mundur untuk pemberdayaan nelayan miskin.

Program-program kemaritiman yang kita tahu misalnya program penenggelaman kapal yang dicanangkan oleh Ibu Susi bertujuan salah satunya untuk mendorong nelayan miskin dapat berkembang dan juga untuk mencegah pencurian yang lebih besar. Dengan adanya program One Belt One Road ini mungkin bisa mendukung dari sisi keuntungan—yang lagi-lagi disebut sebagai keuntungan kaum pemilik modal. Sehingga aliran program hanya berorientasi dan hanya dinikmati oleh pemilik modal. Dampak-dampak kepada nelayan miskin misalnya; apakah negara memberikan akses peningkatan efektivitas kapal nelayan untuk nelayan miskin, apakah negara dan sistem ini turut mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tepat dan strategis untuk nelayan miskin, apakah inovasi ini mendukung kapasitas nelayan untuk menangkap ikan lebih efektif, apakah inovasi ini memberikan peluang pemasaran bagi nelayan kecil. Jika semua jawabannya adalah tidak, maka program ini tidak mengakomodir kebutuhan nelayan kecil dan justru menambah jenjang gap yang ada.

 

Kebutuhan Pendekatan Dua Arah      

Abad Pertengahan Prancis yang dijelaskan oleh Marx dalam bukunya Das Kapital menjelaskan mengenai kondisi Eropa pada saat itu yang memang sangat senjang antara kaum Borjuis dan Kapitalis. Meskipun analisis Marx sangat terpaut dengan determinisme ekonomi, namun hal ini dapat menjelaskan mengenai keadaan Eropa pada saat itu. Dalam inovasi one belt one road, hal yang perlu dipertanyakan adalah apakah Indonesia akan seperti Eropa pada masa pertengahan dimana hanya mengutamakan ekonomi sehingga kesejahteraan dan tingginya penindasan kaum proletar menjadi sangat tinggi. Dalam one belt one road terlihat melupakan aspek sosial dari pengarusutamaan kekuatan ekonomi dunia. Misalnya apakah dalam one belt one road juga turut memberdayakan dan mengedukasi masyarakat untuk peduli terhadap kesehatan nelayan miskin misalnya? One belt one road menjadi terlihat lebih mendominasi sektor ekonomi dalam entrepreneurship dan menjadi lupa bahwa terdapat 3 sektor pembangunan yang berkontribusi besar; pemerintah, sektor sipil, dan sektor swasta.

 

Sebelum Indonesia menjawab “Ya” akan inovasi One Belt One Road ini perlu bagi negara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari analisis inovasi ini;

  1. Apakah negara akan menjamin penyediaan BBM, kapasitas, dan peluang nelayan kecil?
  2. Apakah negara akan menjamin bahwa budaya yang dibentuk tidak akan menimbulkan konflik antar kelas?
  3. Apakah pembangunan dan pemberdayaan yang dilakukan akan meningkatkan lingkungan alam yang baik untuk kelautan Indonesia?
  4. Bagaimana cara melibatkan nelayan miskin dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut?
  5. Apakah pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan nelayan, atau kebutuhan elitis dan ekonomi makro?
  6. Akankah keamanan dan ketahanan laut Indonesia benar-benar dijaga? Bagaimana langkah konkretnya?

Dalam ekonomi kita tidak bisa melulu melihat penghasilan per kapita sebagai sebuah tolok ukur kesejahteraan sebuah negara, dengan adanya inovasi One Belt One Road ini menjadikan Indonesia semakin berorientasi pada penghasilan per kapita tanpa melihat kualitas dari pembangunan itu sendiri. Perencanaan global sangat mengusung prinsip No. One Left Behind, termasuk dalam kemaritiman dan ke nelayanan. Kemudian apakah Indonesia siap untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat atau dalam ecological framework pemerintah menjadi harus menyentuh unsur individual untuk menciptakan masyarakat yang memiliki jiwa entrepreneurship misalnya. Yang padahal pemerintah dalam intervensinya di bidang sistem pun yang dapat dilihat dari pencapaian MDG’s sangat minim capaian, bagaimana mengubah ideologi dan pemikiran masyarakat yang sedemikian rumitnya? Sehingga perlu dicanangkan sebuah respons yang menjawab kebutuhan nelayan miskin dan juga menjawab tantangan global terkait kemajuan ekonomi.

Jangan sampai jika Indonesia meng-“Iya”kan inovasi ini kita justru tidak siap dengan konsekuensi atau bahkan hanya shock yang akan ditimbulkan. Selain mengupayakan adanya pemberdayaan, Indonesia juga harus mampu memiliki daya tawar yang tinggi dalam diplomasi internasional, meskipun akan menjadi sangat sulit melihat politik Indonesia yang masih mengawang-awang pun dalam proses diplomasi yang terlihat “iya-iya saja” kini Indonesia harus berani berkata tidak dalam diplomasinya.

 

 

                                                                                                                      

 

 

 

[1] Achmad Mujoko adalah mahasiswa semester 3 Sosiologi Pembangunan B 2014. Ia dalam paper ini adalah salah satu delegasi pemuda dari Kementerian Pemuda dan Olahraga September 2015 lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun