Mohon tunggu...
Kemas Achmad Mujoko
Kemas Achmad Mujoko Mohon Tunggu... Sociology of Development Student, Universitas Negeri Jakarta -

Equivalent Exchange

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat Ke“ada”an

15 Desember 2015   07:00 Diperbarui: 15 Desember 2015   10:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Seluruh ciptaan adalah sia-sia

Asumsikan tuhan itu ada, dan kamu beragama Islam. Apa tujuan tuhan menciptakan manusia? Untuk menyembahnya? Untuk apa dia disembah? Tidak tahu. SIA-SIA. Lalu kesimpulannya manusia diciptakan untuk kesia-siaan. Seluruh asumsi realitas mikro yang menyatakan bahwa penciptaan Allah adalah tidak ada yang sia-sia adalah kurang benar bagi peyakin realitas makro atau kosmis. Ya, benar secara mikro atau imanen, namun salah untuk makro atau transcendent yang kosmis.

Secara positif dalam biologi, usus buntu tidak diketahui fungsinya orang biologi menganggapnya sia-sia. Namun Subject berprespektif realitas mikro menjelaskan bahwa usus buntupun ada manfaatnya, yaitu untuk dipelajari apa sebenarnya fungsi usus buntu tsb. Berbeda lagi dengan prespektif realitas makro bahwa usus buntu ada untuk apa? Untuk dipelajari, belajar untuk apa? Agar pintar, pintar untuk apa? Agar sukses dan seterusnya hingga berakhir pada “untuk bahagia di surga”, memang surga ada? Menjadi sia-sia bukan? Asumsikan surga ada, “untuk apa kamu bahagia di surga?” Tidak tahu, SIA-SIA. Yang tidak sia-sia adalah proses dari kehidupan yang sia-sia, karena proses tersebut-yang dibilang Subject mikro- menghasilkan tujuan-tujuan, dan seperti yang dijelaskan di atas, bahwa realitas makro tersusun atas realitas mikro, dan realitas makro tersebut adalah realitas mikro dari realitas makro yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa segala sesuatu adalah tidak terbatas, bahkan untuk atom sekalipun, belum ada yang menjelaskan apa isi dari elektron, ataupun isi dari proton, bahkan karena keterbatasan manusia yang tidak terbatas.

Manusia akan mengetahui apa tujuannya hidup di dunia setelah kematiannya, karena setelah kematian kamu akan memahami lebih banyak, mengetahui lebih banyak karena pemahamanmupun akan tidak terbatas. Kamu akan dapat melihat isi dari proton, bahkan kamu bisa melihat alam semesta dalam butiran debu (Conversation with god jilid3: 2008). Subjek dalam ketidak terbatasan bukan hanya diibaratkan sebagai struktural-fungsional yang saling mempengaruhi subject lain atau diibaratkan sebagai warna yang memiliki peran sendiri dalam menciptakan pelangi. Tidakkah anda sadar bahwa pelangi adalah sebuah ciptaan dari cahaya putih ? Sama seperti struktural-fungsional yang sebenarnya tidak memiliki peran jika seandainya subject-subject yang meyakini mereka ada adalah sebuah abstraksi dari prespektif otak yang abstrak. Ya, putih adalah kesia-siaan dan ketiadaan.

Waktu adalah sebuah ilusi

Bagaimana kamu menjelaskan film Interstellar? Bisakah kamu menjelaskan bagaimana bisa alam semesta yang ada pada satu ruang dan waktu yang sama namun memiliki perbedaan ruang dan waktu. Dalam fisika dikenal sebagai relativitas waktu yang merupakan turunan penjelasan dari teori relativitas khusus Albert Einstein

Aku tidak akan menjelaskan bagaimana sistematika penghitungan rumus tersebut. Aku hanya akan menjelaskan betapa semunya rumus tersebut. Pernahkah anda berfikir apakah waktu itu ? Bagaimana 1 detik dihitung ? Ya, waktu yang diciptakan adalah ilusi, kenyataan yang sesungguhnya adalah yang saat ini anda rasakan dengan kesadaran anda. Sampai membca kalimat ini, itu adalah kenyataan dan menyadari bahwa ada typo di kata “membca” yang baru kamu sadari adalah kenyataan. Dan kalimat selanjutnya adalah sebuah ilusi.

Bagaimana penjelasan mengenai suatu ilusi dalam sebuah positivisme rumus yang baku adalah sebuah jebakan. Manusia menciptakan rumus dari ilusi-ilusi yang ada untuk menciptakan kepastian semu- apalagi kalau bukan jebakan. Bisakah kamu menghitung waktu tanpa stopwatch? Bisakah kamu menghitung jarak tanpa penggaris? Tidak bisa? Padahal 1 detik adalah kesepakatan para ahli, yang hanya kesepakatan. Yang nyata adalah yang sekarang, dan waktu adalah ilusi dari kesadaran subjektif.

 Kita mempelajari ilusi, bukan sebuah kebenaran yang bahkan kebenaran adalah ilusi, kita adalah refleksi dari kita-kita yang dulu. Waktu sebagai suatu konsensus dari pemikiran abstrak yang bahkan pikiran adalah sebuah yang abstrak menciptakan suatu positivisme ilusi yang harus diragukan bahkan meragukan apa yang diragukan, keraguan atas keraguan tesebut adalah realitas makro terhadap realitas mikro keraguan bahkan keraguan yang ada merupakan suatu ketidak terbatasan dan semua jawabanmu adalah sia-sia, tidak untuk proses bertanya pada jawaban sia-sia.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun