Mohon tunggu...
Kemas Achmad Mujoko
Kemas Achmad Mujoko Mohon Tunggu... Sociology of Development Student, Universitas Negeri Jakarta -

Equivalent Exchange

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat Ke“ada”an

15 Desember 2015   07:00 Diperbarui: 15 Desember 2015   10:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Kemas Achmad Mujoko 

Pertama-tama yang perlu anda lakukan adalah print artikel ini! Apa yang kamu lihat di bawah tulisan “Oleh: Kemas Achmad Mujoko”? Tidak melihat apa-apa? Coba lihat sekali lagi. Bukan, bukan kertas putih, coba lihat lagi. Tidak melihat apa-apa? Tidakkah kamu melihat gerakan? Tidakkah kamu melihat sebuah sistem yang bekerja sedemikian rupanya?. Kamu akan menyadarinya jika kamu melihat dari prespektif yang lain, bukan melalui mikroskop dan bukan melalui pengamatan radioisotop, namun kamu hanya perlu perdalam kesadaranmu. Di dalam kertas putih terdapat materi penyusunnya, bukan, bukan bubur kertas seperti yang dikatakan bu Sihol. Namun terdapat atom di dalamnya, terdapat banyak sekali sistem yang menyusun kertas, bukankah atom tersusun atas proton, neutron dan elektron? Dan elektron bergerak dengan kecepatan luar biasa ?. Bukankah elektron, proton dan neutron adalah muatan listrik (Bukan listrik dalam arti sesungguhnya-Gelombang)? Mengapa bisa menyusun partikel menjadi sesuatu yang ada?.

Sebuah ke”ada”an adalah ketiadaan

Penjelasan singkat mengenai atom di atas menjelaskan kita bahwa ke”ada”an adalah sesuatu yang tiada namun di”ada”kan. Ya memang, ini adalah sebuah tesis dan anti tesis. Dalam prespektif tesis menjelaskan bahwa atom itu ada, dan partikel itu ada. Namun dilihat dari kacamata yang berbeda, bukankah listrik itu tidak dapat dilihat? Tapi kenapa bisa menciptakan sesuatu yang terlihat? Kemudian sintesanya adalah karena listrik memiliki kecepatan yang luar biasa untuk membentuk partikel yang dapat dilihat. Apa kesimpulannya? Kita adalah tiada tanpa pergerakan, semuanya bergerak, bahkan kertas ini bergerak dengan kecepatan luar biasa. Kertas itu adalah sebuah susunan mikro atas realitas makro semu yang kemudian menciptakan bayangan dalam penginderaan subjek.

Ini adalah realitas makro diatas relaitas mikro yang menyusunnya, dan realitas makro tersebut adalah realitas mikro dari realitas makro yang lebih besar. Ibaratnya atom menyusun Kalium, kalium dan unsur-unsur lain menyusun senyawa, senyawa akan menyusun bubur kertas dan seterusnya. Pun juga dapat dikaitkan dengan teori hylomorphism, bahwa benda yang dibuat misalnya kertas, dapat disusun menjadi buku, dan seterusnya, buku akan menciptakan rak buku, rak buku akan menciptakan perpustakaan dan seterusnya. Atau bisa dikatakan, kita adalah tuhan sesuatu itu. Kita yang mengatur realitas mikro kita, kita akan flu jika bermain hujan, dan bermain hujan adalah pilihan dari realitas kesadaran makro.

Meragukan ke“ada”an

“A”

Apa yang kamu lihat? Aku melihat “B”. Aku hafal abjad abcdefghijklmnopqdst menurutku itu “B”. Bagaimana kamu menjelaskannya? Indra atau sensation adalah sesuatu yang abstrak, TIDAK KONKRIT seperti yang dijelaskan bu Sihol. Yang konkrit adalah konsensus dari bentuk ke “ada”an tersebut. Otak yang akan memproses impuls yang diterima dari indra, jadi semuanya adalah kemauan otak kita. Menurut otakku aku melihat “B”, menurut otakmu kamu melihat apa? Jika kamu setuju denganku-anggap saja setuju- maka B adalah konkrit, entah itu bentuknya A B atau C.

Lalu relasikan dengan keberadaan kita sekarang, apakah otak kita adalah konkrit? Orang-orang yang kita lihat adalah hasil proses dari otak kita, bukan sebuah hal yang konkrit. Begitu pula apa yang kita dengar, apa yang kita cium dan apa yang kita rasa adalah hasil kerja otak kita sendiri. Bukannya aku meragukan kebenaran otak, tapi ini tentang prespektif. Aku menjadi bertanya, otakku adalah abstrak, kamu abstrak, kita abstrak, semuanya abstrak, yang tidak abstrak adalah kesadaran kita. Kesadaran yang menjadi bagian dari otak kita.

Serupa dengan teori keragu-raguan dari Descartes bahwa untuk mencapai kebenaran kita bisa melalui metode keragu-raguan. Bahkan titik kebenaran adalah ketika kita meragukan apa yang kita ragukan.

Kesimpulannya adalah sesuatu yang kita anggap ada, sebenarnya adalah ketiadaan. Konsensus orang banyaklah yang membuat ketiadaan itu menjadi ada, yang padahal hasil dari konsensus itu juga termasuk “ketiadaan” karena orang-orang yang ada di sekitar kita adalah hasil prespektif otak. Lalu bagaimana dengan sesuatu yang memang abstrak ? Seperti tuhan.

 

Seluruh ciptaan adalah sia-sia

Asumsikan tuhan itu ada, dan kamu beragama Islam. Apa tujuan tuhan menciptakan manusia? Untuk menyembahnya? Untuk apa dia disembah? Tidak tahu. SIA-SIA. Lalu kesimpulannya manusia diciptakan untuk kesia-siaan. Seluruh asumsi realitas mikro yang menyatakan bahwa penciptaan Allah adalah tidak ada yang sia-sia adalah kurang benar bagi peyakin realitas makro atau kosmis. Ya, benar secara mikro atau imanen, namun salah untuk makro atau transcendent yang kosmis.

Secara positif dalam biologi, usus buntu tidak diketahui fungsinya orang biologi menganggapnya sia-sia. Namun Subject berprespektif realitas mikro menjelaskan bahwa usus buntupun ada manfaatnya, yaitu untuk dipelajari apa sebenarnya fungsi usus buntu tsb. Berbeda lagi dengan prespektif realitas makro bahwa usus buntu ada untuk apa? Untuk dipelajari, belajar untuk apa? Agar pintar, pintar untuk apa? Agar sukses dan seterusnya hingga berakhir pada “untuk bahagia di surga”, memang surga ada? Menjadi sia-sia bukan? Asumsikan surga ada, “untuk apa kamu bahagia di surga?” Tidak tahu, SIA-SIA. Yang tidak sia-sia adalah proses dari kehidupan yang sia-sia, karena proses tersebut-yang dibilang Subject mikro- menghasilkan tujuan-tujuan, dan seperti yang dijelaskan di atas, bahwa realitas makro tersusun atas realitas mikro, dan realitas makro tersebut adalah realitas mikro dari realitas makro yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa segala sesuatu adalah tidak terbatas, bahkan untuk atom sekalipun, belum ada yang menjelaskan apa isi dari elektron, ataupun isi dari proton, bahkan karena keterbatasan manusia yang tidak terbatas.

Manusia akan mengetahui apa tujuannya hidup di dunia setelah kematiannya, karena setelah kematian kamu akan memahami lebih banyak, mengetahui lebih banyak karena pemahamanmupun akan tidak terbatas. Kamu akan dapat melihat isi dari proton, bahkan kamu bisa melihat alam semesta dalam butiran debu (Conversation with god jilid3: 2008). Subjek dalam ketidak terbatasan bukan hanya diibaratkan sebagai struktural-fungsional yang saling mempengaruhi subject lain atau diibaratkan sebagai warna yang memiliki peran sendiri dalam menciptakan pelangi. Tidakkah anda sadar bahwa pelangi adalah sebuah ciptaan dari cahaya putih ? Sama seperti struktural-fungsional yang sebenarnya tidak memiliki peran jika seandainya subject-subject yang meyakini mereka ada adalah sebuah abstraksi dari prespektif otak yang abstrak. Ya, putih adalah kesia-siaan dan ketiadaan.

Waktu adalah sebuah ilusi

Bagaimana kamu menjelaskan film Interstellar? Bisakah kamu menjelaskan bagaimana bisa alam semesta yang ada pada satu ruang dan waktu yang sama namun memiliki perbedaan ruang dan waktu. Dalam fisika dikenal sebagai relativitas waktu yang merupakan turunan penjelasan dari teori relativitas khusus Albert Einstein

Aku tidak akan menjelaskan bagaimana sistematika penghitungan rumus tersebut. Aku hanya akan menjelaskan betapa semunya rumus tersebut. Pernahkah anda berfikir apakah waktu itu ? Bagaimana 1 detik dihitung ? Ya, waktu yang diciptakan adalah ilusi, kenyataan yang sesungguhnya adalah yang saat ini anda rasakan dengan kesadaran anda. Sampai membca kalimat ini, itu adalah kenyataan dan menyadari bahwa ada typo di kata “membca” yang baru kamu sadari adalah kenyataan. Dan kalimat selanjutnya adalah sebuah ilusi.

Bagaimana penjelasan mengenai suatu ilusi dalam sebuah positivisme rumus yang baku adalah sebuah jebakan. Manusia menciptakan rumus dari ilusi-ilusi yang ada untuk menciptakan kepastian semu- apalagi kalau bukan jebakan. Bisakah kamu menghitung waktu tanpa stopwatch? Bisakah kamu menghitung jarak tanpa penggaris? Tidak bisa? Padahal 1 detik adalah kesepakatan para ahli, yang hanya kesepakatan. Yang nyata adalah yang sekarang, dan waktu adalah ilusi dari kesadaran subjektif.

 Kita mempelajari ilusi, bukan sebuah kebenaran yang bahkan kebenaran adalah ilusi, kita adalah refleksi dari kita-kita yang dulu. Waktu sebagai suatu konsensus dari pemikiran abstrak yang bahkan pikiran adalah sebuah yang abstrak menciptakan suatu positivisme ilusi yang harus diragukan bahkan meragukan apa yang diragukan, keraguan atas keraguan tesebut adalah realitas makro terhadap realitas mikro keraguan bahkan keraguan yang ada merupakan suatu ketidak terbatasan dan semua jawabanmu adalah sia-sia, tidak untuk proses bertanya pada jawaban sia-sia.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun