Dewasa ini, marak kampanye terkait hustle culture, worklife balance, dan kesehatan mental yang menyuarakan narasi agar para pekerja tidak bekerja terlalu lama guna menghindari burnout.
Namun, jika dipikir-pikir lagi, apakah benar sekarang kita bekerja terlalu lama dan lebih lama dibandingkan dengan dulu? Jangan cuma berasumsi, biarkan data yang bicara.
Perhatikan tabel berikut.
Secara global, manusia menghabiskan lebih sedikit waktu bekerja di awal abad ke-21 dibandingkan dengan pertengahan abad ke-20. Perbedaannya bisa mencapai 20 hingga 25 jam kerja dalam seminggu.
Hal ini karena, pada abad ke-21, sudah semakin sedikit perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem 6 hari kerja dalam seminggu. Kendati demikian, produktivitas kerja yang dihasilkan pun bisa dikatakan setara atau lebih banyak dengan jam kerja yang lebih singkat.
Itu kalau data keseluruhan global. Bagaimana kalau dilihat per negara?
Berdasarkan data terakhir yang dihimpun World Economic Forum pada 2017, Indonesia masih termasuk dalam 20 negara dengan jam kerja paling tinggi per tahunnya. Namun, di saat 19 negara lainnya rata-rata memiliki jam kerja yang tinggi namun sudah berkurang dibandingkan dengan zaman dulu, Indonesia justru bertambah.
Tahun 1970, rata-rata pekerja Indonesia menghabiskan 1.988 jam setiap tahunnya untuk bekerja. Sedangkan, di tahun 2017, angkanya meningkat menjadi 2.024 jam kerja setiap tahunnya.
Jika dilihat secara lebih spesifik lagi, pada tahun 2016 hingga 2019, rata-rata pekerja di Indonesia menghabiskan waktu lebih dari batas 40 jam kerja per minggu. Data ini mencakup jam lembur yang dilaporkan dan tidak mencakup jam lembur yang tidak dilaporkan.
Lalu, apakah jam kerja di Indonesia yang bertambah 2% sejak 1970 hingga 2017 ini berbanding lurus dengan pendapatan per pekerja?
Sayangnya, hal ini tidak berbanding lurus. Tahun 2014, rata-rata pendapatan per kapita pekerja Indonesia per tahun ialah 10.000 USD, berbeda jauh dengan negara-negara lain yang bekerja di bawah 2.000 jam per tahun. Jika dampaknya tidak positif ke kesejahteraan finansial para pekerja, lalu apakah dampaknya?
Jika diambil sample dari kota terpadat dan tersibuk di Indonesia, Jakarta, hasilnya sangat mencengangkan. Di tahun 2021, Jakarta menempati urutan ke-9 sebagai kota dengan tingkat stress tertinggi di dunia. Paramater pengukurannya di dasarkan pada tingkat kebahagiaan penduduk, kesejahteraan finansial, tingkat polusi dan pencemaran, serta keseimbangan hidup dan kerja.
Jika melihat lebih spesifik lagi di tahun 2020 dan 2021, pekerja Indonesia melakukan WFH dikarenakan pandemi. Lalu, apakah WFH berdampak lebih positif pada pekerja Indonesia?
Sayangnya tidak.
Jadi, kesimpulannya, apakah kita bekerja lebih lama dibandingkan dulu? Bisa dibilang iya.
Lantas, apakah hal ini membuat pekerja Indonesia lebih bahagia? Sepertinya tidak.
Kalau begitu, apa yang harus dilakukan di tahun-tahun mendatang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H