Bu Dinar. Setumpuk masalah selalu menyelimuti kehidupan janda muda itu. Satu masalah belum teratasi, sudah datang lagi masalah lain. Permasalahan itu akhirnya tumpang tindih dan tidak dapat segera diselesaikannya. Aku yang dianggapnya sahabat, teman mengajar di sekolah yang sama, acap kali menjadi pusat pengaduannya. Tempat keluh kesah atas semua permasalahan yang menimpanya.
“Bu Dewi, aku bingung nih,” bu Dinar membuka pembiacaraannya ketika mampir ke rumahku sepulang dari tempat mengajar, siang itu.
“Bingung kenapa, bu ?” tanyaku.
“Tapi maaf jangan diceritakan ke yang lain yah, ini rahasia.” Pesan Bu Dinar penuh harap.
“Kalau ibu takut aku menceritakan pada orang lain, sebaiknya jangan ibu ceritakan saja permasalahanmu itu padaku.” kataku.
“Iya deh aku percaya.” Ujar Bu Dinar. “Aku lagi bingung berat nih.” Lanjut Bu Dinar.
“Kalau berat, ibu ditunda saja dulu separuh, atau kita gotong deh, siapa tahu lebih ringan.” Aku bercanda.
“Ih ibu tuh, aku serius nih.” Rengek Bu Dinar minta agar aku focus dengan keluhannya.
“ Ya sudah, kalau ibu mau cerita, langsung ceritakan saja. Biasanya juga begitu kan..? Memangnya ini yang pertama kalinya ibu bercerita padaku. Sudah sering tahu ? Tapi pernah tidak ibu mendengar kalau obrolan ibu itu sampai terdengar ke telinga orang lain ? Tidak pernah kan ?”
“Iya sih. Aku memang hanya berani menyampaikan semua permasalahanku sama ibu. Alasannya karena ibu paling dapat dipercaya merahasiakan semua permasalahan aku.” Pujinya sambil memelukku. “Ibu memang sahabat sejatiku.” Tambah Bu Dinar sambil melepaskan pelukkannya.
“Jangan suka memuji. Aku tidak suka dipuji. Dipuji itu tidak bisa membuat perutku kenyang, tidak juga membuat isi dompetku bertambah, yang ada malah membuat kepalaku semakin besar dan hampir mau meledak rasanya.” Candaku lagi.