Mohon tunggu...
Sovi Nur Wakhidah
Sovi Nur Wakhidah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Narablog

Narablog yang senang bertualang | Penggemar sepak bola dan bulu tangkis | Blog pribadi www.soviwakhidah.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kurangi Kesenjangan, Perluas Kesempatan, dan Tingkatkan Kesejahteraan Melalui Teknologi Keuangan

31 Juli 2022   13:34 Diperbarui: 31 Juli 2022   13:36 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2022 terasa begitu istimewa bagi Indonesia. Pertama kali dalam sejarah, Indonesia terpilih untuk menjadi tuan rumah G20. Forum kerja sama multilateral ini beranggotakan 19 negara utama dan Uni Eropa (EU).

Pasca pandemi Covid-19, negara maju dan berkembang yang bergabung dalam Group of Twenty saling bahu-membahu untuk mengatasi krisis, mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif. Dengan mengangkat tema “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia mengajak dunia berkolaborasi, saling dukung untuk pulih bersama, tumbuh lebih kuat, dan berkelanjutan.

Presidensi G20 merupakan momentum berharga bagi Indonesia untuk menyusun gagasan dan langkah strategis yang dapat membantu pemulihan ekonomi dunia, sekaligus memberi manfaat bagi Indonesia. Bertepatan dengan hal tersebut, Presidensi G20 juga menjadi ajang promosi pariwisata Indonesia sehingga dapat berdampak positif terhadap peningkatan perdagangan sektor UMKM dan investasi dalam negeri.

Salah satu asa yang ingin direngkuh untuk memulihkan dunia adalah pembangunan ekonomi inklusif. Dikutip dari laman inklusif.bappenas.go.id, ekonomi inklusif adalah ekonomi yang menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan antar kelompok dan wilayah.

Mengapa ekonomi inklusif?

Pembangunan ekonomi sejatinya memang harus dirasakan oleh semua pihak. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada suatu negara sudah sepatutnya diimbangi dengan pemerataan pembangunan, peningkatan kesejahteraan, dan pengentasan kemiskinan yang secara adil dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Jika negara tetap mengembangkan ekonomi eksklusif yang hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tujuan, maka yang akan terjadi adalah “Yang kaya makin digdaya, yang miskin makin prihatin.”  Kesenjangan antar kelompok dan wilayah akan terjadi di mana-mana.

Oleh karena itu, pembangunan ekonomi inklusif dicanangkan untuk pemerataan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Utamanya bagi mereka yang kurang terlayani seperti perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.

Perempuan, Pemuda, dan Penyandang Disabilitas Menjadi Prioritas

Foto: Dok Pribadi (diolah menggunakan Canva)
Foto: Dok Pribadi (diolah menggunakan Canva)

Dalam Presidensi G20 2022, inklusi keuangan bagi underserved community yaitu perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas menjadi salah satu agenda prioritas Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Mereka merupakan kelompok yang selama ini masih mengalami kesulitan untuk mengakses produk dan layanan keuangan.

Apa potensi besar yang dimiliki ketiganya sehingga menjadi prioritas?

Di Indonesia, pada tahun 2021 jumlah UMKM sekitar 64 juta di mana 64,5 persen pelaku UMKM adalah perempuan. Kontribusi kelompok usaha ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 61,07 persen atau senilai Rp8.573,89 triliun.

Sayangnya, masih banyak perempuan yang sulit mengakses layanan keuangan. Misalnya, karena mereka tidak memiliki aset atas namanya. Selain itu, tingkat literasi perempuan terhadap layanan keuangan formal masih tergolong rendah.

Dikutip dari laman Tirto.id, indeks literasi perempuan terhadap keuangan sebesar 36,13 persen. Sedangkan inklusi keuangan untuk perempuan mencapai 75,2 persen. Artinya, dari 100 perempuan ada 75 orang yang memiliki akses layanan keuangan formal. Akan tetapi hanya 36 orang saja yang memiliki tingkat literasi tinggi.

Selain perempuan, pemuda juga memiliki peranan penting dalam peningkatan ekonomi dunia. Mereka adalah agent of chage, aset suatu bangsa yang sangat berharga. Sebanyak 16 persen dari populasi dunia adalah pemuda.

Pemuda merupakan kelompok usia yang melek teknologi digital, kreatif, dan multitasking. Berdasarkan data Sakernas, pada Februari 2021 jumlah penduduk Indonesia usia 15-34 tahun yang bekerja mencapai 47 juta orang atau 36,5 persen dari total penduduk yang bekerja.

Namun, anak muda masih banyak yang belum memiliki akses ke lembaga keuangan. Kurangnya dokumen identitas atau perlunya persetujuan wali untuk membuka rekening bank membuat pemuda sering dibedakan. Padahal, mereka adalah usia produktif yang memiliki potensi besar dalam ekonomi suatu negara.  

Kelompok lain yang masih mengalami kesenjangan dalam akses ke lembaga keuangan adalah penyandang disabilitas. Pada tahun 2021, jumlah penduduk dunia tercatat sebanyak 7,7 miliar. 15 persen dari jumlah tersebut merupakan penyandang disabilitas. Sebagian besar penyandang disabilitas atau 80 persennya tinggal di negara berkembang.  

Di Indonesia, data Sakernas Agustus 2020 menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang merupakan penyandang disabilitas tercatat sebanyak 7,68 juta atau 5,98 persen dari total penduduk Indonesia yang bekerja. Saat menerima upah kerja, tidak semua diberikan secara tunai. Opsi pemberian upah juga dilakukan melalui transfer bank.

Namun, kaum disabilitas sering dipersulit dalam mengakses layanan perbankan. Misalnya, para penyandang tuna netra tidak dapat tanda tangan secara identik, maka pihak bank atau lembaga keuangan akan melakukan diskriminasi. Padahal, dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, mereka memiliki hak keadilan dan perlindungan hukum untuk memperoleh akses terhadap pelayanan jasa perbankan dan nonperbankan.

Kesenjangan yang dialami oleh underserved community ini harus segera menemukan solusinya. Karena mereka adalah kelompok yang juga berperan penting terhadap kemajuan ekonomi suatu negara.


Teknlogi Keuangan untuk Mengentaskan Kesenjangan

Foto: Dok Pribadi (diolah menggunakan Canva)
Foto: Dok Pribadi (diolah menggunakan Canva)

Indeks pembangunan ekonomi inklusif diukur dari 3 pilar/aspek yaitu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi; pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan; serta perluasan akses dan kesempatan. Guna mewujudkan pilar perluasan akses dan kesempatan maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menciptakan keuangan inklusif.

Untuk mendorong akselerasi inklusi keuangan global, diperlukan kebijakan dan program yang representatif dan efektif. Bank Indonesia menyebutkan bahwa cara untuk mencapai inklusi keuangan adalah dengan memanfaatkan open banking.

Digital Financial Inclusion & SME Finance: Memanfaatkan open banking untuk mendorong produktivitas dan mendukung ekonomi dan keuangan inklusif bagi underserved community yaitu wanita, pemuda, dan UMKM, termasuk aspek lintas batas.

Sumber: aws.amazon.com
Sumber: aws.amazon.com

Open banking merupakan sebuah sistem yang menyediakan data jaringan lembaga keuangan kepada pengguna melalui API (application programming interface). Melalui open banking, pihak ketiga yaitu perusahaan fintech dapat mengakses data nasabah seperti identitas dan transaksi yang dilakukan. Tentunya hal tersebut dilakukan atas persetujuan nasabah. Data yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk membangun layanan keuangan berbasis teknologi digital yang lebih cepat, mudah, aman, dan nyaman.

Mengutip dari situs Bank Dunia, secara global data per April 2018 sebanyak 1,7 miliar orang dewasa tidak memiliki rekening bank. Namun, dua pertiga dari jumlah tersebut memiliki ponsel yang dapat digunakan untuk mengakses layanan keuangan.

Pemanfaatan open banking untuk mendorong keuangan inklusif juga didukung dengan jumlah pengguna internet yang terus bertambah. Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) mengatakan saat ini jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 210 juta atau 77 persen dari jumlah penduduk.

Dampak positif open banking adalah nasabah akan memperoleh berbagai produk layanan keuangan dengan mudah. Utamanya bagi mereka para perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.

Para underserved community yang memiliki usaha atau pelaku UMKM dapat mengajukan pinjaman secara digital melalui aplikasi lembaga perbankan atau nonperbankan secara cepat tanpa perlu tatap muka.

Kini juga sudah banyak lembaga perbankan yang menyediakan fitur pembukaan tabungan secara digital tanpa perlu datang ke kantor cabang. Ini tentu akan memudahkan masyarakat, terutama para penyandang disabilitas.

Bagi nasabah yang memiliki asuransi kesehatan seperti BPJS, bank juga telah menyediakan layanan auto debit. Fitur ini memudahkan nasabah karena tidak perlu membayar iuran setiap bulan secara manual. Pihak bank akan otomatis memotong saldo tabungan untuk membayar tanggungan BPJS.

Kemudahan layanan transaksi perbankan lainnya seperti transfer antar bank, top up e-wallet, pembelian token listrik dan pulsa, pembayaran biaya pendidikan, pembayaran PBB, investasi, dan masih banyak lagi juga dapat dinikmati semua pihak dalam satu genggaman.

Di era digital yang telah menembus jarak dan ruang, Bank Indonesia berharap kedepannya ada kesetaraan sistem pembayaran lintas negara. Saat ini, sistem pembayaran yang telah dikembangkan oleh Bank Indonesia antara lain QRIS, BI Fast, dan SNAP (Standar Nasional Open API Pembayaran).

Para pelaku UMKM, tak terkecuali di daerah saya Banjarnegara, telah menggunakan QRIS sebagai salah satu metode pembayaran. Menurut Bank Indonesia, saat ini jumlah UMKM yang telah menggunakan QRIS mencapai 15 juta pengguna. Metode pembayaran non tunai ini sudah dapat digunakan lintas negara seperti di Malaysia dan Thailand.

Cross border dalam metode pembayaran akan memudahkan pelaku UMKM saat bertransaksi dengan pembeli dari luar negeri. Pemuda dan penyandang disabilitas yang bekerja secara digital dan memiliki klien dari mancanegara seperti para content creator, programmer, blogger, dan graphic designer juga dapat merasakan manfaatnya.

Edukasi tentang keuangan digital bagi perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas sangat diperlukan untuk mewujudkan inklusi keuangan. Dengan melek literasi keuangan digital, mereka akan lebih terbuka dan mau untuk mengakses lembaga keuangan.
Namun, literasi saja tentu tidak cukup. Regulasi juga harus mendukung guna percepatan inklusi keuangan. 

Misalnya, untuk penyandang disabilitas utamanya tuna netra, dapat mengganti tanda tangan dengan sidik jari atau sensor wajah.
Pelaku UMKM perempuan dapat mengajukan pinjaman usaha bunga rendah dengan jaminan izin usaha yang dimiliki. Dengan demikian, kesenjangan tidak akan ada lagi. 

Pemanfaatan open banking yang diimbangi dengan edukasi tentang keuangan digital, serta adanya dukungan regulasi tentu akan mempercepat ekonomi inklusif. Dengan berbagai agenda prioritas Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia dalam Presidensi G20 2022, diharapkan mampu memberi dampak positif terhadap ekonomi dan keuangan dunia pada umumnya, serta Indonesia pada khususnya.

Melalui usaha untuk terus mengembangkan teknologi keuangan, maka kesenjangan akan berkurang, kesempatan bertambah luas, dan kesejahteraan masyarakat terutama underserved community dapat meningkat.

Yuk, kita dukung dan sukseskan Presidensi G20 2022 menuju pembangunan ekonomi inklusif! 

***

Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun